"Lo masih lanjut sama Hendery? Udah berapa kali gue bilang kalau dia itu ga baik buat lo?"
Jena membelalakkan kedua matanya. Darimana Renjun tahu tentang semua itu?! Ia yakin dengan benar bahwa waktu itu ia hanya sendirian saat sedang menunggu sang kekasih datang.
Seperti menyadari apa yang hendak ditanyakan padanya, Renjun kembali berbicara. "Dejun yang bilang."
"Dejun? Tapi lo— dia—" perempuan itu menelan salivanya berat. Sedang memikirkan pilihan kata apa yang tepat untuk menggambarkan hubungan keduanya. "Kalian bukannya udah ga pernah ngomong lagi sejak waktu itu?"
"Dia bilang ke gue karena dia tau kalo ngomong ke Yangyang sama aja kayak percuma karena Yangyang bakal selalu ngelindungin lo. Lagipula ini bukan urusan lo, Jen. Lo cuma perlu jawab pertanyaan gue. Lo masih sama Hendery setelah beribu peringatan yang udah gue kasih ke lo? Setelah dia udah bikin lo kayak kemaren?"
"Tapi Jun, Hendery pasti ga sengaja waktu itu. Gue yakin dia ga maksud bikin gue celaka."
Renjun memijit keningnya yang berdenyut akibat betapa keras kepalanya Jena. "Dia bahkan gatau lo alergi sama apa dan hampir ngebunuh lo karena kebodohannya dan dia masih ada muka buat ketemu sama lo? Gue ga ngerti apa lo nya yang terlalu bego atau Henderynya yang terlalu ga punya rasa malu sampai-sampai kalian masih jalan sampai sekarang."
"Renjun, ga gitu... Dejun juga pasti ga maksud gitu pas ngomongin ini ke lo.."
Renjun mengusap wajahnya kasar lalu menatap tajam kearah Jena. Namun walaupun ia tampak begitu marah, lelaki itu tidak membuka mulutnya sedikitpun untuk membalas argumen Jena. Ia hanya diam dan menatap kearahnya.
Jena pikir mungkin Renjun sudah menyerah namun perkiraannya ternyata salah besar karena disaat Renjun berhenti bicara, ada sosok lain yang menyambung perkataannya. Sosok yang bahkan Jena tidak sadari keberadaannya dibalih tubuhnya entah sejak kapan.
Dejun melipat kedua tangannya didepan dadanya. Wajahnya yang sering tersenyum itu kini mengeras dan menampilkan raut wajah dingin yang tidak pernah Jena lihat sebelumnya.
"Sorry to say tapi kali ini aku sepenuhnya setuju sama omongan Renjun, Jena."
"Dejun..." ucapan Jena terputus. Ia tampak kecewa. "Jangan kamu juga..."
Dejun tidak tega. Jauh didalam lubuk hatinya, ia ingin sekali mengatakan bahwa ia tidak ingin melihat sahabatnya yang satu itu terlihat sedih. Tapi ia harus kuat, ini semua demi kebaikan Jena dan ini adalah pilihan finalnya. Jadi lelaki itu memilih untuk mempertahankan raut dinginnya dan bergeming ditempat.
"Ini bukan pertama kalinya aku bilang ke kamu kalau Hendery itu ga baik buat kamu, Jena. Aku bahkan ga yakin Yangyang masih bakal ngelindungin dan nyetujuin pilihan kamu sepenuhnya sekarang karena waktu kamu pingsan, dia orang yang paling panik dan marah sama Hendery."
"Dejun tapi—"
Perkataan Jena lagi-lagi terpotong. Renjun bangkit dari duduknya dan menatap dingin kearah Jena. "Udahlah, Jun. Gaada gunanya ngomong ke seseorang yang matanya udah dibutain sama cinta. Mau sampe berbusa pun dia gaakan dengerin kita."
"Renjun dengerin gue dulu!" Jena memohon. Namun Renjun hanya balas menatapnya sekilas sebelum berjalan menjauh meninggalkannya.
Saat Jena berbalik, Dejun hanya tersenyum getir sembari menggelengkan kepalanya. Lelaki itu menepuk bahu Jena singkat. "Aku hargain pilihan kamu, Jen. Semoga kamu ga nyesel sama pilihan kamu." Ucapnya. Setelahnya lelaki itu ikut berjalan menjauh meninggalkan Jena sendirian di salah satu ruang laboratorium sekolah yang menjadi tempat pertemuan ketiganya.
•••
"Renjun, thanks banget karena udah bantu gue ngomongin tentang semua ini ke Jena." Ucap Dejun sembari memberikan sebuah minuman kaleng dingin berwarna merah kehadapan Renjun yang langsung diterima oleh lelaki itu. Keduanya lalu duduk dan menikmati minuman digenggaman masing-masing.
Setelah selesai meneguk cairan menyegarkan tersebut, Renjun akhirnya berbicara. "Ga masalah, Jena juga temen gue."
"Gue bener-bener terima kasih karena lo masih ngasih kesempatan buat gue ngomong ke lo setelah semua ini."
Renjun menghela nafas. "Well, kalau dipikir-pikir kayaknya lo ga bener-bener jadiin Jena sebagai pengganti Yena kayak yang Hendery lakuin. Jujur aja dulu gue sempat mikir kalau lo deketin dia buat maksud-maksud tertentu apalagi semua orang juga tau seberapa suka lo sama Yena dulu."
Dejun tersenyum ketir. "Gue ga ada niatan apapun ke Jena. Gue bener-bener serius temenan sama dia dan gue ga pernah sekalipun berharap kalau hubungan kami berdua bakal lebih dari sahabat."
Renjun mengangguk-angguk. Ia kemudian memutar cairan yang tersisa di kaleng minumannya. Alisnya bertaut seperti sedang berpikir keras. "Dejun." Panggilnya setelah beberapa saat.
"Ya?"
"Dari dulu gue penasaran, lo ga keliatan punya sedikitpun rasa suka ke Yuri dan kita semua tau kalau Yuri ga sama dan gaakan pernah bisa sama kayak Yena jadi kenapa lo tetep mempertahanin dia jadi cewe lo? Lo tau kalau dia bukan orang baik kan?"
"Gue tau." Dejun menjeda ucapannya. Lelaki itu kembali meneguk minumannya cepat sebelum menjauhkan botol kaleng kosong itu menjauh dan memandanginya dengan pandangan kosong. "Ini semua karena permainan Yuri."
"Permainan apa maksud lo?" Kening Renjun berkerut tanda tidak mengerti apa yang sedang Dejun bicarakan. Sementara yang ditanya memilih diam. Renjun mengerti, ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dikatakan jadi ia memilih untuk diam dan menunggu Dejun siap untuk berbicara.
"Lo tau kan Hendery dulu cuma macarin Yena karena rivalry konyol gue sama dia? Karena dia tau gue suka sama Yena." Dejun menatap kearah sela-sela sepatunya guna menghindari tatapan Renjun.
Renjun hanya mengangguk jadi Dejun kembali lanjut berbicara. "Waktu Yena kecelakaan dulu, lo masih inget apa yang terjadi?"
Renjun menjauhkan botol minumannya dan menaruh benda tersebut di pahanya. Matanya menatap kearah langit-langit—tampak berpikir keras karena berusaha mengingat kejadian yang sudah lama terkubur dalam diingatannya.
"...Kecelakaan kan? Di halte depan sekolah kita dulu."
Dejun lagi-lagi mengangguk. "Kecelakaan itu bukan sepenuhnya salah supir mobil yang nabrak Yena waktu itu kalau lo mau tau. Dia memang nyetir sambil mabuk tapi kalau ga ada seseorang yang ngedorong Yena ke jalanan waktu itu, gaakan ada kecelakaan yang bakal nimpa Yena."
Renjun membulatkan kedua matanya saat mendengar fakta yang tak pernah ia ketahui sebelumnya itu. "Seseorang? Dorong Yena? Jadi maksud lo kecelakaan waktu itu direncanain sama seseorang?"
Seseorang mendorong Yena? Kenapa tak ada seorangpun yang pernah mengatakan hal itu kepadanya sebelumnya?
Dejun mengangguk dan tatapannya terlihat kosong. Ia tampak seperti ingin menangis.
"Jangan bilang—" ucapan Renjun terputus karena Dejun sudah menganggukkan kepalanya bahkan sebelum lelaki itu berhasil menyelesaikan ucapannya.
"Yuri yang dorong Yena ke tengah jalan waktu itu, Renjun. Bahkan Arin yang waktu itu berdiri tepat disamping Yena juga bilang kalau dia gatau gimana dan kapan Yena tiba-tiba ada di tengah jalan sementara beberapa detik sebelumnya mereka masih berdiri bersebelahan kan? Itu karena Yuri ngegunain situasi halte yang lagi rame jadi dia dengan mudahnya membaur diantara orang-orang dan ngelakuin hal itu."
"Lo tau darimana?"
"Gue liat semuanya, Renjun."
"Yuri suka gue bahkan sebelum Yena masuk di sekolah kita. Tapi gue suka Yena. Karena itu dia ngelimpahin semua kesalahan yang sebenernya dia perbuat dengan bilang kalau Yena kecelakaan karena Hendery dan ngegunain fakta itu supaya Hendery gapernah ninggalin Yena jadi gue gaakan pernah bisa deketin Yena."
"Terus lo?" Renjun menegak salivanya berat. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering.
"Yuri bilang kalau gue mutusin dia, dia bakal ngelakuin hal yang sama ke Yena lagi."
"Dan waktu itu terjadi, mungkin gaakan ada lagi keajaiban yang bisa ngebuat Yena lepas dari maut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Her
FanfictionI'm not her, Nor do i want to take her place. Please understand.