Senja Kesepuluh

110 11 0
                                    


Malam sudah larut. Tuan Eduard baru saja mengantarkan tamunya yang terakhir, sementara Ali dan Albert masih bertukar kata seolah jarum jam berhenti berdetak dan bumi tak lagi mengelilingi matahari. Dua pasang mata berbeda warna itu masih menyala penuh semangat. Tidak terlihat kantuk pada wajah mereka.

Malam ini Ali dan Raden Soeryo menghadiri jamuan makan malam di rumah Tuan Eduard untuk merayakan kepulangan Albert. Ia beruntung bisa pulang ke tanah Hindia padahal di Eropa sedang berkecamuk perang dunia pertama. Albert menumpang kapal yang membawa senjata dari Netherlands ke Hindia.

Pemerintah kolonial sangat khawatir jika perang meluas sampai Asia Pasifik dan Hindia Belanda akan memberontak. Pemerintah Hindia Belanda tidak ingin cengkeraman kukunya di sini terlepas dan kehilangan tanah jajahan yang telah membuat negara mereka kaya raya.  Oleh karena itu,  Gubernur Jenderal merasa perlu untuk mengirim surat permintaan bantuan senjata, mesiu, dan tambahan pasukan kepada kerajaan. Namun, hanya senjata dan mesiu saja yang dikirim, itu pun dalam jumlah yang tidak memadai. Kerajaan meminta pemerintah kolonial memproduksi senjata dan mesiunya serta membentuk angkatan perang sendiri untuk berjaga-jaga.

Tak banyak tamu undangan yang hadir. Mereka adalah kolega dekat Tuan Eduard dan Nyonya Emily. Hanya sekitar tiga puluh orang, semuanya Eropa totok atau peranakan. Keluarga Van Veer menjamu mereka dengan hangat. Makanan dan minuman tumpah ruah. Gramophone tak henti-hentinya memutar musik bernada riang. Sejenak, mereka melupakan kelut-melut yang terjadi di Eropa dan berimbas pada kehidupan mereka di tanah Hindia.

Dua gadis Van Veer terlihat cantik dengan gaun putih satin berenda dan aksen pita berwarna biru muda di bagian pinggang. Rambut cokelat bergelombang milik kakak beradik Brechtje dan Sanne dibiarkan tergerai. Jepit rambut keemasan menempel cantik di sebelah kiri dan kanan kepala.

Tubuh tinggi tegap Albert berbalut setelan jas berwarna putih dengan dasi kupu-kupu berwarna hitam. Wajahnya licin bercahaya, berhias senyum yang terkembang sempurna. Rambut cokelat miliknya disisir rapi. Ia seolah mewakili kemajuan pendidikan Eropa; cerdas, elegan, dan bermartabat.

Kehadiran Ali dan Raden Soeryo mirip biji tasbih berwarna hitam di antara serangkai biji tasbih berwarna putih. Tubuh keduanya pun berbalut jas hitam dengan dasi kupu-kupu sewarna. Mereka menanggalkan pakaian Jawa demi menyesuaikan diri dengan tamu undangan lainnya.

Beberapa tamu memandang tak suka kedua pribumi itu, sedangkan sebagian lainnya tidak terlalu mengindahkan keberadaan mereka berdua. Hanya satu dua yang menyapa mereka dengan ramah lalu duduk mengobrol dalam Belanda. Sesekali telinga Raden Soeryo menangkap bisik-bisik tentang keberadaannya dan Ali dalam Inggris atau Perancis. Meski kupingnya terasa panas dan hatinya bergemuruh, ia mencoba menahan diri.

Berbeda dengan Ali, ia tak terlalu menggubris suara-suara sumbang yang mampir di telinganya. Ia sudah cukup kebal untuk menerima perlakuan menyebalkan dari para pendatang yang bertingkah jumawa seakan bumi hanya milik mereka sendiri. Lagi pula ia tahu beberapa skandal yang terjadi di antara mereka. Sekali saja mereka berbuat kasar padanya, surat kabar di seluruh Hindia akan mengabarkan. Tidak butuh waktu lama untuk menjatuhkan harga diri dan martabat mereka.

Raden Soeryo sibuk melihat koleksi buku yang dibawa Albert. Sepuluh kopor besar berisi buku ikut mendarat bersama tubuh Albert ketika menginjakkan kaki di atas tanah Batavia. Ia tidak hanya membawa buku-buku kuliah, melainkan juga buku-buku sastra, tulisan pemikir-pemikir Eropa, dan koleksi piringan hitamnya.

Tangan Raden Soeryo meraih sebuah buku, membuka-buka beberapa halamannya, kemudian membawanya duduk bersama Ali dan Albert.

“Bawa buku itu kalau kau suka, Soeryo.” Albert menghentikan obrolannya dengan Ali. Mata Albert bersinar melihat buku di tangan Raden Soeryo.

Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang