Senja Pertama

673 49 6
                                    


Juliana tertunduk lesu menatap piring yang belum kosong. Sejak beberapa menit lalu ia sudah meletakkan pisau dan sendok di tangannya. Ia sudah kehilangan selera makan. Telunjuknya  mengetuk-ngetuk meja. Gusar. Untuk pertama kali sepanjang delapan belas tahun kehidupannya, ia melawan kehendak lelaki yang sangat ia hormati.

“Setiap tahun ulang tahunmu selalu dirayakan. Kenapa tiba-tiba jij tiba-tiba menolak?” Mata biru Willem van Bart menatap tajam Juliana. “Lagi pula pesta ini juga untuk merayakan kelulusan jij dari HBS.”

Juliana menarik napas panjang. Tulisan berjudul “Als ik Nederlander was”  di harian De Express yang ia baca sembunyi-sembunyi membangkitkan keresahan di hatinya. Sayang, ia tak mungkin menceritakan itu pada sang pappie karena De Express adalah koran terlarang dan sudah dibredel. Ia mendapat koran itu dari seorang temannya di HBS.

Perlahan Juliana mendongakkan wajah, mencoba menatap mata Willem. “Me-menurut Ik itu pemborosan, pappie,” jawabnya terbata. “Ma-masih banyak orang sengsara. Le-lebih baik uangnya untuk membantu mereka.”

Willem membuang napas kasar. “Pappie khawatir jij terpengaruh pemikiran para pribumi. Beberapa kali Pappie lihat jij tengah duduk mengobrol dengan mereka.”

Juliana kembali tertunduk, semakin ciut nyali. Ia tak ingin memandang wajah Willem yang kali ini menatapnya penuh selidik.

“Anna, beri tahu anakmu agar jangan terlalu dekat dengan pribumi-pribumi itu.” Willem mengalihkan kepada perempuan yang duduk di sampingnya. Lelaki bertubuh jangkung itu segera menyudahi makan malamnya dan pergi meninggalkan meja makan.

***

Malam ini, suasana rumah Willem van Bart di Weltevreden terlihat semarak. Cuaca cerah dengan langit berhias purnama membuat rumah Tuan van Bart terlihat anggun. Halaman yang hijau asri dihias dengan lampion warna-warni. Tirai-tirai yang biasa menutup jendela disingkap kemudian diikat di sis kiri dan kanan jendela. Meja-meja berbentuk bundar ditata sedemikian rupa di ruang tamu dan ruang tengah yang cukup luas.

Para pelayan berpakaian serba putih sudah siap dengan nampan-nampan berisi aneka hidangan. Harum aneka masakan tercium dan menggugah selera. Tepat di tengah ruang tamu, diletakkan meja bundar berukuran sedang di mana sebuah kue ulang tahun bertengger manis. Susah payah ia berusaha menolak, kedua orang tuanya tetap mengadakan pesta tersebut yang diadakan sebulan setelah perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina.

Para tamu undangan, tua dan muda dengan pakaian terbaik mulai berdatangan satu demi satu. Tuan dan Nyonya van Bart menyambut mereka dengan semringah. Juliana berdiri di tengah kedua orang tuanya dengan gelisah. Berulangkali matanya melirik pintu masuk dan berharap orang yang diundangnya hadir. Demi kesopanan, ia berusaha menyambut para tamu seramah mungkin meski hatinya resah.

Pria-pria muda berlomba-lomba menarik perhatiannya dengan memberi hadiah-hadiah mewah. Begitu pula dengan teman-teman perempuannya, berusaha memberikan hadiah terbaik. Beberapa pelayan silih berganti membawa hadiah-hadiah tersebut untuk ditata di salah satu meja di ruang tamu yang khusus disiapkan untuk meletakkan hadiah.

Ayahnya adalah Directeur van Onderwijs en Eredienst (direktur pendidikan dan agama) Pemerintah Belanda yang sangat disegani sehingga sebagai anak, ia layak menerima semua pemberian itu. Sudah biasa terjadi jika setelah pesta, para pemberi hadiah akan kembali ke rumah dan bermanis muka untuk berbagai tujuan.

Jantung Juliana mendadak berdetak lebih cepat. Senyum terkembang sempurna di wajahnya kala mata biru itu menatap kedatangan seorang lelaki bumiputra yang melewati pintu ruang tamu, berjalan penuh kharisma menuju dirinya. Lelaki berkulit cokelat itu tersenyum. Mata di balik kaca mata berbingkai bulat itu bersinar. Senyum dan tatapan mata yang selalu membuat Juliana merasa seolah waktu berhenti dan hanya ada mereka berdua di dunia ini.

Willem van Bart menatap priyayi Jawa di depannya dengan sorot mata tak suka. Ia sebenarnya tidak menghendaki kehadiran pribumi di pestanya. Namun, Juliana berkeras mengundang semua temannya di HBS tanpa kecuali sehingga murid-murid pribumi itu harus hadir. Raden Mas Soeryo tersenyum dan mengangguk sopan kepada Tuan dan Nyonya van Bart meski ia tahu suami istri Belanda itu menyambutnya dingin.

Juliana tidak memedulikan sikap sang pappie yang tidak bersahabat. Ia menyapa Raden Soerya dan semakin bungah ketika bangsawan Jawa itu memberinya selendang batik sebagai tanda mata. Willem menarik napas berat. Ingin rasanya ia mengambil selendang itu dan membuangnya jauh-jauh. Mati-matian ia berusaha menjaga sikapnya agar tetap sopan. Willem tak ingin reputasinya hancur di rumahnya sendiri.

Willem van Bart buru-buru mencari kepala polisi yang juga menjadi tamu undangannya. Sebelum pesta dimulai, pribumi-pribumi itu harus enyah dari hadapannya.

“Jij lihat inlander yang berkaca mata itu?” Willem van Bart menunjuk Raden Suryo dengan ekor matanya.

Frederik van Meir menghentikan tegukan secangkir kopi kalosi yang sedang dia nikmati. Hanya di rumah Willem ia bisa menikmati kopi dari berbagai wilayah Hindia Belanda gratis. Ia juga penikmat kopi. Namun, ia tidak akan menghabiskan guldennya hanya untuk membeli kopi-kopi dari daerah jajahan yang jauh. Cukup Java Preanger saja yang ia sediakan di rumah. 

Mata Frederik van Meir mencari sosok yang ditunjuk Willem van Bart. Priyayi Jawa itu baru saja mengambil secangkir kopi dari koffie bar di salah satu sudut rumah Willem. Frederik mengangguk sambil memikirkan bagaimana caranya mengusir Raden Soerya dari rumah ini.

“Bawa dia keluar dari pesta ini secepatnya!” perintah Willem.

Raden Mas Soeryo Wicaksono adalah satu dari lima pribumi yang berhasil lulus HBS dengan nilai memuaskan. Sudah jamak terjadi, dari 100 persen murid HBS saat awal masuk, hanya 25 persen yang berhasil lulus karena beratnya standar kelulusan di sana yang harus menyesuaikan dengan HBS di Belanda. Pemerintah Hindia Belanda sedang mengawasinya karena ditengarai terlibat kasus-kasus anti pemerintah yang semakin marak dilakukan pribumi-pribumi berpendidikan. Keberadaannya di pesta ini akan menyulitkan posisi Willem. Ia tak ingin esok lusa harus kehilangan jabatan karena keberadaan seorang pemberontak di rumahnya.

“Ada imbalan yang cukup kalau jij berhasil menyingkirkan dia.” Tak ada pertolongan yang gratis. Willem terpaksa mengeluarkan gulden demi menyelamatkan karirnya di pemerintah kolonial.

Frederik tersenyum senang, kemudian menjentikkan jari. “Aku pastikan orang itu akan pergi dari sini secepatnya.”

Willem menepuk bahu Frederik kemudian bangkit dan duduk bersama keluarganya. Pesta akan segera dimulai.

Frederik menandaskan cangkirnya kemudian berjalan ke meja Raden Soeryo. Ditepuknya bahu Raden Soeryo perlahan. “Bisa keluar sebentar?”

Raden Soeryo menoleh. Sekian detik mengerutkan dahi. Ia merasa tidak ada urusan dengan kepala polisi yang berdiri di depannya. Meski demikian, tak urung ia bangkit dan mengikuti Frederik yang berjalan keluar.

“Apa jij sudah tahu kalau pesta ini bukan untuk pribumi?” Frederik menatap tajam Raden Soeryo.

Raden Soeryo menarik napas. Ia mencoba tetap tenang. Perbedaan perlakuan adalah makanan sehari-hari di tanah jajahan. “Saya hanya mendatangi undangan Nona Juliana,” jawabnya tegas.

“Yang berkuasa di sini Meneer van Bart dan dia tidak ingin ada pribumi di pestanya.” Frederik berkata pongah. Hatinya kesal melihat Raden Soeryo yang menatap tajam dirinya.

"Segera angkat kaki dari rumah ini atau lima tahun pelajaranmu di HBS sia-sia!”

Rahang Raden Soeryo mengeras. Tangan putra salah satu wedana di Jawa itu mengepal. Andai tak ingat tentang ijazah HBS dan cita-citanya, ia rela memukul kepala polisi congkak di hadapannya. Tanpa berkata apa pun, Raden Soeryo pergi meninggalkan kediaman van Bart. Hatinya nyeri diperlakukan sebagai penumpang di tanahnya sendiri.

Frederik tersenyum menang. Ia buru-buru masuk. Masih ada tiga pribumi yang harus ia usir dari rumah ini.

Bersambung

Catatan:
1. “Als ik Nederlander was” : Seandainya Aku Seorang Belanda, adalah tulisan karya Ki Hadjar Dewantara yang  dimuat di koran De Express
2. Koran De Express: koran yang terbit perdana pada tanggal 1 Maret 1912 di Bandung, didirikan oleh Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo

Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang