Senja Kedua Puluh Empat

58 14 1
                                    

Halo, Readers. Alhamdulillah cerita ini update lagi. Enjoy reading 🥰.

***

Matahari mulai beringsut ke barat ketika Raden Soeryo tiba di rumah Nyonya Emily. Perempuan itu tengah sibuk dengan aneka bunga di halaman rumahnya yang sejuk dan asri.

"Albert sudah kembali ke perkebunan, Soeryo." Nyonya Emily tersenyum riang. Bunga Lily di depannya menari tertiup angin sore.

"Maaf, Nyonya, kebetulan saya ingin bertemu Anda." Raden Soeryo mengangguk takzim.

"Oh, duduklah dulu. Aku akan kembali lima menit lagi." Nyonya Emily bangkit dan berjalan menuju rumah dengan langkah cepat. Taklama kemudian, ia sudah kembali ke teras bersama Brechtje yang membawa satu teko teh dan sepiring kue.

"Kita mengobrol di sini saja, Soeryo. Cuaca sore ini sangat panas. Lebih enak berada di luar ketimbang di dalam rumah."

Raden Soeryo mengiyakan permintaan Nyonya Emily seraya mengangguk sopan.

"Oh iya, ini kue buatan Brechtje. Coba kamu cicipi."

"Terima kasih, Nyonya." Kali ini Raden Soeryo mengangguk sopan serya tersenyum pada Brechtje yang berdiri di samping kursi Nyonya Emily.

Brechtje menatap sekilas priyayi Jawa di hadapannya lalu kembali menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya. Ia mempersilakan Raden Soeryo untuk menikmati hidangan sebelum meninggalkan teras.

Sulung van Veer adalah siswa tingkat dua Kawedri. Ia gadis yang sopan dan pendiam, mewarisi kepandaian sang mammie di bidang aljabar dan berhitung. Brechtje selalu mendapat nilai nyaris sempurna untuk pelajaran aljabar, fisika, dan berhitung.

"Maaf, Nyonya, kedatangan saya kemari ingin menanyakan kenapa Tuan van Royen dan Tuan van Leuween harus dipindahtugaskan? Apa karena mereka telah menolong saya?" Raden Soeryo bertanya hati-hati setelah berbasa-basi sejenak.

Nyonya Emily tersenyum bijak. "Tidak, Soeryo. Pindah tugas adalah hal biasa di pemerintah kolonial. Lagi pula, Tuan van Leuween lebih cocok berada di Buitenzorg. Beliau lebih cocok menjadi direktur di sana karena beliau ahli ilmu tumbuhan."

"Apakah Tuan van Bart tidak mengajukan syarat apa pun atas bantuannya?" Raden Soeryo menatap heran Emily.

Nyonya Emily terdiam sesaat. Wajahnya terlihat seperti tengah memikirkan sesuatu. Sejurus kemudian, ia menuang teh ke dalam cangkir keramik dan menyodorkannya pada Raden Soeryo.

"Hendrijk tidak berkata apa pun. Waktu itu aku meminta bantuannya agar memerintahkan Dewan Kehormatan Sekolah menskors kamu, tanpa harus mengeluarkanmu dari Kawedri dan dia menyanggupinya karena aku mengatakan kalau kamu siswa terbaik Kawedri."

Nyonya Emily meneguk tehnya. "Dia mengatakan akan memikirkannya setelah membaca berkas-berkas laporan kasusmu dan akhirnya ia memenuhi permintaanku."

Raden Soeryo terdiam. Ia benar-benar merasa ganjil dengan sikap van Bart. Lelaki angkuh itu tidak mungkin menuruti begitu saja permintaan Nyonya Emily.

"Sudahlah, Soeryo. Tidak perlu kau pikirkan soal itu." Nyonya Emily menepuk bahu murid kesayangannya.

Helaan napas Raden Soeryo memenuhi udara. "Baik, Nyonya. Terima kasih atas bantuan Anda." Raden Soeryo menyerahkan selendang batik titipan Haji Said. "Sekadar hadiah kecil. Semoga Anda suka."

"Dank je, Soeryo." Nyonya Emily meraih selendang dan menatapnya dengan wajah bungah. "Aku sangat suka batik. Apalagi batik dari toko Said. Kualitasnya selalu terbaik."

Raden Soeryo tersenyum cerah. Setelah meminta alamat van Royen di Bandung, ia pun pamit. Langit telah berubah warna dan sebentar lagi waktu magrib tiba.

***

Diam-diam Anna memperhatikan gadis bungsunya yang tengah sibuk mengaduk adonan kue di dapur. Banyak hal berubah pada Juliana sejak beberapa bulan terakhir. Semua berawal dari keinginan bungsunya untuk mengajar baca tulis pada pembantu-pembantu di rumah mereka. Ia merasa heran karena selama ini Juliana menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dan hanya memikirkan diri sendiri. Kebiasaannya menghabiskan malam di Societet de Harmonie bahkan membuat Juliana mendapat nilai buruk di sekolah dan memantik kemarahan Willem.

Namun, beberapa bulan terakhir Juliana berubah. Ia lebih banyak di rumah, membaca, menulis, dan mengajar baca tulis. Beruntung Williem tidak keberatan karena bagaimanapun juga, mengajar baca tulis adalah salah satu budi baik yang bisa ditonjolkannya pada penguasa kolonial agar ia bisa mendapat jabatan lebih tinggi. Lagi pula, hanya bisa membaca dan menulis tidak akan membuat pribumi-pribumi rendahan itu mengungguli bangsa kulit putih.

Selain itu, Willem merasa lega karena Juliana tidak lagi gemar berfoya-foya dan menghabiskan malam di Harmonie. Ia berharap nilai Juliana lebih baik di sisa tahun pelajarannya sehingga bisa melanjutkan pelajaran ke Universitas Leiden mengikuti jejak sang kakak.

Kesibukan Juliana di dapur adalah keanehan berikutnya setelah mengajar baca-tulis.

"Apa yang kamu buat, Julie?" Anna tersenyum geli melihat gerak canggung Juliana menggunakan alat-alat dapur.

Juliana mendongak. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna. "Hanya mencoba sedikit membantu Tinah, Mammie."

"Bagus. Belajarlah pada Tinah agar kelak, kalau sudah menikah, kamu bisa membuat makanan yang lezat untuk keluargamu." Anna mengelus kepala Juliana dengan lembut.

Juliana menelan ludah. Kata menikah yang meluncur dari bibir sang mammie mengingatkannya pada Raden Soeryo. Namun, ia segera menghapus jejak wajah priyayi Jawa itu dari pikiran agar tidak merusak konsentrasi. Juliana tidak ingin kue buatannya gagal.

"Jangan lupa bereskan dapur kalau pekerjaanmu sudah selesai nanti."

Juliana mengangguk dan tersenyum lega ketika Anna meninggalkan dapur.

Kenyataannya, membuat kue tidak semudah bayangan. Beruntung ada juru masak andalan keluarga yang dengan sabar dan telaten membantu. Perempuan berusia jelang empat puluh tahun itu berhasil menyelesaikan misi Juliana hingga tersaji spekulaas dan janhagel koekjes.

"Dank je, Tinah." Juliana terduduk letih di kursi. "Kamu lebih pintar membuat kue-kue dari negeriku ketimbang aku." Ia tertawa.

"Semua karena bantuan Nyonya Anna, Nona."

"Tolong masukkan sebagian ke dalam toples kecil. Besok aku akan mengirimnya pada temanku."

Tinah mengangguk kemudian menjalankan perintah Juliana.

"Apa besok kita jadi pergi, Nona?" Mirah menyodorkan secangkir teh pada Juliana.

Juliana menginjak kaki Mirah sambil melotot. Detik kemudian ia mengedarkan pandangan ke dapur, khawatir kalau-kalau Anna tengah berada di sana.

Menyadari kesalahannya, Mirah menunduk lalu beringsut menjauh.

"Oh iya, Tinah, sekalian masukkan kiriman teh dari Onderneming Temanggung tempo hari ke dalam toples."

Sekali lagi Tinah mengangguk dan mengerjakan instruksi tuannya.

Keesokan paginya, Juliana mandi lebih pagi. Ia telah berpakaian rapi saat sarapan.

"Mau pergi ke mana, Julie?" Willem menelisik wajah Juliana. Sangat jarang gadis manjanya bangun pagi dan berdandan di pagi hari saat libur sekolah.

"Saya ingin jalan-jalan ke Passer Baroe, Pappie. Ada keperluan sekolah yang harus dibeli."

"Ini masih terlalu pagi untuk pergi ke sana." Willem memandang jam dinding. Pasar yang menjadi favorit bangsa kulit putih itu baru buka jam sepuluh pagi.

"Oh, saya ada janji dengan Emma. Kami akan ke Passer Baroe berdua." Juliana tersenyum manis, mencoba mengusir gugup. Bagaimana mungkin ia sampai lupa kalau Passer Baroe buka dua jam lagi. Ah, ia terlalu bersemangat.

"Kau lupa, Hendrijk, Julie sangat dekat dengan Emma. Mereka seperti perangko. Jadi, jangan heran kalau ke pasar pun harus bersama." Anna menuang susu ke dalam gelas dan menyodorkannya pada Willem.

Willem menggeleng lalu menghabiskan sarapan dan mengganti topik pembicaraan.

Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang