Senja Keempat Belas

104 8 0
                                    

Raden Soeryo menatap malas piring di hadapannya. Makan malam terasa menjemukan dan tidak berselera. Ingin rasanya ia bis amengika twaktu agar tak perlu berjumpa hari esok sehingga ia tidak jadi berangkat ke Majalengka. Diam-diam Raden Soeryo berharap ada utusan Kanjeng Rama yang menyusul dan menjemputnya pulang sebelum subuh.Sebuah harapan yang muskil mengingat penguasa Kawedanan Muntilan itu justru menitipkan surat khusus kepada Kiai Halim. 

Kanjeng Ibu yang selama ini tidak pernah ikut campur pilihan hidupnya karena semua diserahkan padanya dan Kanjeng Rama juga mengirimkan surat khusus pada Raden Soeryo. Surat pertama yang ia terim asejak meninggalkan Muntilan. 

“Soeryo anakku, Ibu dengar jika kemajuan tidak hanya datang dari bangsa kulit putih, dari Eropa. Suluh peradaban itu juga dibawa para penuntut ilmu yang baru pulang dari Mekah dan Kiai Halim salah satunya. Ikutlah Kiai Halim dan dengarkan semua wejangannya,  sungguh-sungguh ngangsu kawruh padanya. Semoga cahaya kebaikan itu sampai kepadamu.”

Entah dari mana Kanjeng Ibu menerima berita itu. Muntilan hanya kawedanan kecil di Karesidenan Kedu. Meski onderneming Sindoro Sumbing sedang maju dan menggerakkan banyak orang untuk datang ke Bergstad van Midden Java, tetap saja ia kota kecil yang sunyi. Namun, empat tahun sudah berlalu sejak kepergiannya ke Batavia. Mungkin saja saat ini tanah kelahirannya telah jauh lebih ramai sehingga  banyak berita yang sampai ke telinga Kanjeng Ibu. Apalagi koran-koran persyarikatan beredar luas di berbagai tempat di Tanah Hindia. Bisa jadi Kanjeng Ibu juga membaca surat kabar yang beredar di Jogjakarta, Semarang, atau Surakarta yang sampai padanya.

Akhirnya suapan terakhir berhasil melewati mulut. Raden Soeryo menarik napas berat. Beberapa kali ia ingin meminta  izin kepada Haji Said untuk pulang ke Muntilan saja. Lebih baik ia mengajar Sekolah Rakyat selama menjalani skorsing ketimbang harus menelan tumpukan buku-buku berbahasa Arab di tempat Kiai Halim. Namun, keinginan itu takpernah terlontar dari mulutnya. Ia terlalu segan untuk membantah permintaan Haji Said.

Diam-diam Raden Soeryo menyesal mengapa kemarin mengabarkan pada Kanjeng Rama kalau Haji Said memintanya pergi belajar pada Kiai Halim, bukan memberitahu kalau ia akan pulang ke Muntilan. Sayang, waktu takbisa diputar ulang. Ia harus menjalani apa yang sudah diputuskan Kanjeng Rama dan Haji Said. 

“Wajahmu seperti benang  kusut, Yo.” Ali tiba-tiba masuk ke kamar saat Raden Soeryo sedang mengemasi barang-barangnya.

Raden Soeryo mendongak dan melempar senyum lalu kembali sibuk menata baju dan buku ke dalam koper.

“Mikirin gadis Belandamu?”Ali tersenyum jenaka.

Raden Soeryo tergeragap. Buru-buru ia bangkit dan menutup pintu kamar seolah khawatir ada orang yang akan menguping pembicaraan mereka. Padahal saat ini di rumah hanya ada mereka berdua dan Bu Maimunah yang sudah masuk ke kamar usai salat Isya.

“Maksud Njenengan?” Raden Soeryo mencoba bersikap biasa meski hatinya diamuk badai karena tidak mengira Ali langsung melepas panah dan menancapkannya tepat di jantungnya.. 

Tawa Ali pecah berderai sampai-sampai matanya berair seolah ia baru saja menonton pertunjukan drama paling lucu. 

Raden Soery omenatap Ali jengkel lalu kembali menyibukkan diri dengan barang-barangnya.

Ketika tawanya reda, Ali menepuk bahu Raden Soeryo lalu menunjukkan selembar foto yang membuat mata priayi Jawa itu membulat sempurna dan wajahnya memerah. Gesit, Ali menarik tangannya sehingga Raden Soeryo gagal merebut foto itu.

“Dari mana Njenengan dapat foto itu?”Raden Soeryo bertanya gusar.

“Apa kamu lupa kalau aku ini pewarta.”Ali tersenyum penuh kemenangan. “Aku tahu apa yang tidak dikabarkan angin pada hujan dan yang tak disampaikan ranting pada dahan.”

Raden Soeryo berdecak kesal. Soal bersilat lidah, Ali tak terkalahkan. Ia mewarisi ketajaman pikir dan kelihaian mengolah kata Haji Said. Dalam diam, Raden Soeryo memutar otak bagaimana caranya merebut foto itu dari tangan Ali. 

“Rabu lalu aku kerumah Albert.” Ali memulai cerita tanpa diminta. “Habis waktuku mendengar bualan Albert tentang Marx, Engels, sampai Sneevliet. Rugi betul aku memenuhi undangan makan siang di rumahnya.” Ali bersungut-sungut. Tampak jelas jika ia sangat tidak menyukai tema pembicaraan tentang ketiga orang yang sangat dikagumi Albert itu. 

“Aku pulang taklama setelah gadismu pamit. Aku mengikuti kalian sampai Jalan Noordwijk. Jadi aku bisa mendapatkan foto ini.” Ali mengibas-ngibaskan foto di depan wajah Raden Soeryo sambil tersenyum lebar. 

Wajah Raden Soeryo semakin memerah. Andai bisa, ia ingin membenamkan diri ke dalam bumi atau pergi sejauh mungkin dari hadapan Ali. Foto itu membuatnya malu dan khawatir karena bisa menjadi sumber masalah baru jika sampai jatuh ke tangan Willem van Bart. 

“Beruntung bukan pewarta Bataviasche Nieuwsblad yang memergoki kalian. Entah bagaimana nasibmu kalau foto kalian jatuh ke tangan mereka. Kau pasti tahu siapa gadismu itu.” Kali iniwajah Ali terlihat serius. Ia menatap lekat Raden Soeryo yang tercenung di depannya. 

“Aku sudah pernah melihat kalian di Hotel des Indes. Kupikir kalian hanya kebetulan bertemu di sana sampai seminggu lalu aku melihat kalian berboncengan Saat itu aku tahu kalau kalian lebih dari sekadar teman.”

Raden Soeryo semakin tersudut. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Pikirannya centang-perenang. Hatinya kelut-melut. Bayangan penjara di kantor polisi Weltrevenden kembali hadir di benaknya. 

“Masalah tidak akan jadi rumit andai gadismu itu Brechtje.” 

Raden Soeryo menatap Ali sambil tersenyum getir. “Sama saja, Mas. Nona Brechtje juga kulit putih.” 

Kedua sudut bibir Ali terangkat. “Beda, Yo. Brechtje anak Nyonya Emily yang jelas-jelas mengagumi kepandaianmu. Guru aljabarmu itu juga pengikut Henk Sneevliet yang tidak anti pribumi dan sedikit banyak mendukung perjuangan bumiputra. Ia tidak akan keberatan anaknya dekat dengan pribumi pintar sepertimu.” 

Terdengar helaan napas panjang Raden Soeryo ditingkahi detak jarum jam dinding. Sungguh pelik masalah cinta di tanah jajahan. Ia dan Juliana terlahir dari rahim yang sama, seorang ibu, berpijak di atas tanah yang sama dan bernaung di bawah langit yang sama. Namun, kenapa mereka tak boleh melabuhkan perasaan hanya karena perbedaan warna kulit? Sungguh tidak adil. 

“Berbeda dengan Van Bart. Dia pejabat kolonial. Hubunganmu dengan anaknya adalah noktah besar di wajahnya.” Ali mengganjur napas. “Gelombang yang kau tantang terlalu besar, Yo. Bukan hanya Van Bart yang akan menentangmu. Abah dan ramamu juga pasti tidak setuju.”

Ucapan Ali seperti sembilu yang menggores hati Raden Soeryo. Ia tidak pernah menentang Haji Ali dan Kanjeng Rama meski kadang terpaksa melakukan perintah mereka. Ia tidak bisa membayangkan akan berseteru dengan dua orang yang sangat ia hormati demi Juliana. Namun, ia juga tidak bisa berpaling dari gadis pirang itu. Semakin ia berusaha menjauh, semakin besar rasa itu membungkus hatinya. 

“Kurasa keputusan Abah mengirimmu ke Kiai Halim sudah tepat. Di sana kamu bisa menenangkan diri dan berpikir masak-masak sebelum memutuskan. Sekolahmu, cita-citamu. Pikirkan semuanya baik-baik.” 

Raden Soeryo memalingkan pandangan dari wajah Ali. Ia tidak ingin kehilangan semuanya. Ia tidak ingin menghapus perasaannya pada Juliana, tetapi juga tidak ingin menentang Haji Said dan Kanjeng Rama. 

“Ingat, Yo, hukum agama kita dan hukum Belanda tidak mengizinkan kalian bersatu.” Ali menatap tajam Raden Soeryo lalu berjalan keluar kamar.

Sepanjang malam Raden Soeryo nyaris takmampu memejamkan mata. Ketika kelopak matanya tertutup, ia merasa terlempar ke dalam lorong gelap tak berujung sementara ucapan Ali terus berdengung di telinganya. Ketika setitik cahaya datang, ternyata ia sedang berada di sebuah ruangan, menghadap Haji Ali dan Kanjeng Rama. Tatapan kedua lelaki sepuh itu menyiratkan rasa kecewa dan amarah. Sementara di sudut lain, terlihat Juliana bersimpuh di kaki Kanjeng Ibu dengan air mata berderai. 

Raden Soeryo tergeragap bangun ketika ketukan pintu dan suara Haji Said menerobos rongga telinganya. Ia mengusap wajah sembari berharap mimpi buruknya tak menjadi kenyataan. 

Perlahan Raden Soeryo bangun lalu menatap jam dinding. Ia terlambat bangun karena waktu subuh sudah tiba. Biasnya, sebelum fajar menyapa ia sudah membuka mata dan mengikuti denyut kehidupan di rumah Haji Said. Ia harus cepat-cepat bersiap karena Kiai Halim memintanya sampai di Hotel Medan jam tujuh. 

Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang