Senja Kedua Puluh Lima

96 11 2
                                    

Juliana membuang napas lega dan mengosongkan piring dengan hati bungah. Ia pamit pada Anna setelah kepergian Willem.

"Kita tidak jadi ke pasar baru, Nona?" Mirah mengedarkan pandangan ke kiri dan kanan jalan ketika menyadari kereta tidak mengarah ke pasar baru.

"Mijn God, bisakah kamu tidak banyak tanya, Mirah?"

Mirah menunduk sembari meremas ujung kebaya.

"Tidak kamu dengar tadi kalau Passer Baroe belum buka sekarang? Kowe mau menunggu di sana tanpa melakukan apa pun?"

Mirah menggeleng.

"Diamlah atau aku turunkan kowe di jalan!"

Mirah terkesiap. Ia tidak akan bisa pulang ke rumah Willem kalau diturunkan di Weltevreden. Alih-alih kembali, bisa-bisa ia malah jadi santapan begal.

"Ma-maaf, Nona," ujarnya lirih dengan wajah masih menunduk.

Parjo menghentikan kereta di halaman rumah Haji Said.

Juliana meraih keranjang berisi dua toples kue dan satu toples teh. Ia tahu Raden Soeryo sangat menyukai janhagel koekjes. Ia pernah mendengar dua anak Nyonya Emily tengah membicarakan priyayi Jawa itu dan kue kesukaannya.

"Kowe tunggu di sini, Mirah. Jangan ke mana-mana. Mengerti?"

Mirah mengangguk. Kali ini ia tidak akan membuat kesalahan lagi meski rasa ingin tahu bergumpal-gumpal di dadanya. Setampan apa pemuda ningrat itu sehingga bisa merebut hati majikannya.

Selarik senyum secerah bunga matahari terbit di wajah Juliana. Gegas ia turun dan berjalan cepat menuju rumah berukuran sedang di depannya.

Juliana baru saja akan mengetuk pintu ketika Ali tiba-tiba muncul dari balik pintu yang terbuka.

Refleks, Ali mundur dua langkah. "Ada perlu apa Anda datang ke mari, Nona?" tanyanya penuh selidik.

"A-aku ada perlu dengan Soeryo. Apa dia ada?" Juliana menatap sekilas Ali kemudian memalingkan wajah ke arah rumpun melati di salah satu sisi halaman. Nyalinya menciut seperti siput kena garam kala sepasang matanya bersitatap dengan sorot mata setajam pisau milik Ali.

"Katakan saja keperluan Anda, nanti saya sampaikan." Suara Ali terdengar dingin dan mengintimidasi.

Juliana menggigit-gigit bibir. Pertahanannya runtuh. Ingin sekali ia berteriak memanggil Raden Soeryo agar segera keluar dan mengusir pemuda galak di hadapannya.

Belum sempat Juliana membuka mulut, Raden Soeryo keluar dari balik kelambu yang memisahkan ruang tamu dengan bagian dalam rumah keluarga Said.

Raden Soeryo menghentikan langkah. Mendadak tubuhnya seperti disiram es lalu membeku saat melihat Juliana telah berdiri di depan pintu.

Juliana tersenyum lega melihat kedatangan Raden Soeryo. Mataharinya akan mengusir pemuda galak yang sejak tadi bersikap seperti polisi Weltevreden tengah menginterogasi kriminal.

"Katakan pada gadismu agar tidak gegabah, Soeryo." Ali menatap Raden Soeryo dan Juliana bergantian. "Katakan padanya agar tidak terlalu sering datang ke mari atau esok lusa kita akan mendapat banyak masalah."

Raden Soeryo terkesiap. Ucapan Ali seperti anak panah yang memelesat dan menembus jantung.

Sepasang mata biru Juliana membulat sempurna. Hatinya bergemuruh. Mengapa semesta begitu kejam kepadanya? Bahkan hanya sekadar bertemu sebentar dengan pemilik hatinya pun sangat sulit. Juliana merutuki nasib yang tak berpihak pada mereka.

Menyadari kehadirannya tidak diinginkan Juliana meletakkan keranjang yang dibawanya di dekat pintu lalu meninggalkan rumah Haji Said tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Jejak rasa kecewa terlihat di mata Raden Soeryo kala bersipandang dengan Ali. Ia tidak menyangka Ali akan bersikap sekasar itu pada Juliana.

"Maaf, Soeryo, aku hanya tidak ingin kamu terlibat masalah lagi karena Juliana." Suara Ali melunak. Ia tahu telah menyakiti hati sepupunya. "Kamu pasti tidak lupa siapa orang tua Juliana." Ia menepuk bahu Raden Soeryo kemudian keluar meninggalkan pemuda ningrat itu.

Selama sekian detik Raden Soeryo tercenung, berusaha mengunyah setiap kata yang terlontar dari bibir Ali. Rasa kecewa yang sempat bergumpal di hati sedikit demi sedikit sirna. Ia tahu, Ali bermaksud baik. Setelah semua masalah yang harus dihadapinya akibat berkelahi dengan Jansen, ia memang harus lebih berhati-hati.

Setelah berhasil mengurai rusuh yang berkecamuk di hati, jemari milik Raden Soeryo mengambil keranjang Juliana dan perlahan membuka kain penutupnya. Hati priyayi Jawa itu menghangat saat melihat dua toples kue dan satu toples teh. Ia tidak menyangka Juliana memberi salah satu kue kesukaannya yang selama ini hanya bisa dinikmati di rumah Nyonya Emily.

Selembar kertas jatuh ke lantai saat Raden Soeryo membuka lipatan setangan dan seketika tangannya bergetar ketika membaca huruf demi huruf yang terpahat rapi di atas kertas itu.

"Belum berangkat, Yo?" Haji Said tiba-tiba sudah berada di ruang tamu. Tatapannya memindai sang kemenakan yang masih belum pergi.

Raden Soeryo tergeragap. Beruntung setangan dan surat Juliana sudah ia selipkan di bawah toples.

"Keranjang siapa itu?" tanya lelaki berwajah teduh itu ketika melihat keranjang di atas meja. Seingatnya, tidak ada keranjang seperti itu di rumah ini.

"Eh, anu." Raden Soeryo mengangkat destar lalu mengacak rambut gugup. "Tadi ada teman mengantar kue dan teh, Bah."

"Teman di Kawedri?"

Raden Soeryo mengangguk.

"Ya, sudah, segera bawa ke belakang, Yo. Sudah siang. Kalau toko belum buka dan Koh A Liem sudah datang, dia bisa marah."

"Eh, iya, Bah." Ah, Juliana selalu membuat otaknya kehilangan kemampuan berpikir. Dalam hati Raden Soeryo merutuki diri yang selalu terbius pesona gadis pirang itu. Padahal hari ini ia sudah berjanji akan berangkat lebih awal karena kain-kain kiriman dari Tiongkok akan tiba di toko.

"Nanti aku susul setelah ketemu Tuan Husni sebentar."

"Iya, Bah. Saya pergi sekarang." Raden Soeryo membawa keranjang ke ruang tengah dan menyimpan setangan serta surat Juliana di dalam lemari. Sebelum pergi, ia membaca sekali lagi surat Juliana dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat.

"Soeryo, aku tahu jalan kita tidak mudah. Tapi aku yakin suatu hari Tuhan akan mempertemukan kita. Setelah ini aku akan lebih berhati-hati dan menyimpan rapat-rapat hubungan kita. Simpanlah setangan ini sebagai bukti kalau aku akan selalu menunggu kedatanganmu untuk membawaku pergi. Aku sendiri yang menyulam nama kita di setangan ini agar kamu tahu aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku."

Raden Soeryo mengusap wajah gusar. Sekian detik tubuhnya terpaku. Wajah Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu berkelebat di benak. Ia tidak ingin mengecewakan keduanya. Mereka mengirimnya ke Batavia untuk menuntut ilmu demi meninggikan derajat anak bangsa. Membawa pergi Juliana adalah hal bodoh yang menghancurkan harapan dan cita-cita mereka dan tidak akan pernah dilakukannya. Ia akan mencari jalan lain untuk memperjuangkan rembulan di hatinya.

Kesadaran Raden Soeryo kembali ketika dentang jam dinding di ruang tengah menerobos telinga. Gegas ia meletakkan setangan dan surat Juliana di bawah lipatan baju lalu meninggalkan rumah menuju Pasar Baru. Hari yang padat dan melelahkan telah menunggu. Kedatangan barang baru selalu menguras tenaga.

Raden Soeryo mengayuh sepeda cepat-cepat. Ia menarik napas lega melihat Koh A Liem belum datang. Baru saja tangannya membuka pintu toko ketika juragan Tionghoa itu muncul di ujung gang dengan wajah ditekuk.

"Kabar buruk, Soeryo. Katakan pada Haji Said, kain-kain pesanannya belum bisa aku antar," ujarnya dengan dialek Tiongkok yang khas ketika sudah berdiri di depan Raden Soeryo. "Kapal yang membawa daganganku terkena badai dan sebagian barangnya terpaksa dibuang ke laut. Beruntung kapalnya selamat dan masih bisa meneruskan perjalanan sampai Batavia. Hanya saja aku harus kehilangan banyak barang."





Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang