Senja Ketiga Puluh

87 9 0
                                    

Juliana menggenggam cangkir kuat-kuat. Hampir saja ia membanting cangkir keramik itu. Beruntung, kesadarannya cepat pulih dan ia terhindar dari melakukan hal bodoh itu. 

“Lebih baik aku jadi pribumi daripada meninggalkanmu, Soeryo.” Kedua mata biru Juliana berkaca-kaca. Dipandangnya lelaki di hadapannya dengan tatapan penuh luka. Bagaimana mungkin ia bisa menganggap Raden Soeryo tidak ada jika lelaki itu serupa matahari dalam semestanya? Bagaimana mungkin ia bisa menganggap Raden Soeryo seperti debu, jika pemuda itu adalah mutiara yang ia simpan dalam bilik hatinya? Sampai kapan pun, ia tidak akan pernah sanggup melupakan Raden Soeryo. 

Raden Soeryo menggeleng. “Masih banyak pemuda kulit putih yang lebih pantas untuk Anda, Nona. Tuan dan Nyonya van Bart pasti sudah menyiapkan orang yang tepat untuk Anda. Lupakan saya dan hapus dari kehidupan Nona.” 

Sakit, sakit sekali hati Raden Soeryo saat kalimat itu terlontar dari lisannya, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Haji Said dan Kanjeng Rama tidak akan pernah bisa menerima Juliana. Mungkin, ia dan Juliana memang ditakdirkan serupa matahari dan bulan yang tidak akan pernah ada bersamaan di langit. 

“Cukup! Cukup, Soeryo!” Juliana mengusap wajah kasar. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Dalam hati, ia merutuki takdir yang tidak pernah berpihak pada mereka.

Raden Soeryo terenyak. Bentakan Juliana terdengar seperti raungan yang terasa menyakitkan di telinganya. 

“Engkau boleh melarangku mengirim makanan, melarangku menemuimu, tetapi aku bersumpah akan selalu menunggumu, Soeryo.”  Hampir saja Juliana melempar cangkir di hadapannya andai otaknya tidak buru-buru melarang. “Aku ....” Gadis itu mengusap hidung yang memerah. “Aku tidak akan bisa melupakanmu, Soeryo. Tidak akan bisa.” Juliana berdiri lalu berlari meninggalkan Raden Soeryo, membawa pergi hatinya yang remuk. 

Raden Soeryo tercenung. Ditatapnya tubuh Juliana yang berlari memasuki gedung de Harmonie lalu tertunduk lesu ketika bayangan gadis itu tidak lagi tertangkap matanya. 

Entah berapa lama ia menghabiskan waktu di kursi. Raden Soeryo hanya diam menatap langit sembari mengunyah bitterballen atau meneguk teh yang semakin dingin. Lalu, sesekali ia meraih buku dan mencoba membacanya meski konsentrasinya telah buyar. Alih-alih mengeja huruf, ia justru selalu terbayang wajah Juliana. 

Raden Soeryo sengaja bertahan karena setelah ini, ia tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di de Harmonie. Biarlah semua usai sampai di sini. Juliana boleh saja bersumpah akan menunggunya, tetapi kalau takdir memutuskan mereka tidak bersatu, ia bisa apa? Bagaimanapun juga hidup harus terus berlanjut dan benar kata Haji Said, jangan sampai pikirannya tersita pada masalah ini. Semua sudah berakhir meski rasanya seperti ingin mati saja. 

“Sendirian saja, Soeryo?” 

Sapaan hangat dan tepukan lembut di bahu Raden Soeryo menarik lelaki itu dari amukan badai. Seketika Raden Soeryo mengangkat kepala hingga dilihatnya Albert telah berdiri di samping meja. “Iya, Tuan.” Ia membalas senyum Albert.  

“Aku pikir tadi salah lihat. Ternyata memang kau yang duduk di sini.” Albert menggantikan posisi Juliana. “Menunggu seseorang?” 

“Tidak. Eh, maksud saya iya, tapi kami sudah bertemu tadi.” 

Albert mengangguk lalu mengambil sepotong spekkoek. 

“Kapan Tuan datang?” Raden Soeryo meletakkan buku di atas meja. 

“Tadi siang.” Albert melambaikan tangan pada pelayan dan meminta anggur. “Ngomong-ngomong, apa kau sudah baca undanganku tempo hari?” 

“Sudah, Tuan.” 

“Bisa datang?”

Raden Soeryo terdiam sejenak, mencoba mengingat waktu yang tertera pada undangan Albert. “Insyaallah, Tuan.” 

Kedua sudut bibir Albert terangkat. “Kau harus datang. Kau harus tahu kalau sebagian bangsa kulit putih tidak menyukai perbedaan manusia hanya karena warna kulit dan bangsanya.” 

Raden Soeryo menandaskan isi cangkirnya. “Hanya sebagian kecil,” batinnya rusuh. Kenyataannya jauh panggang dari api.

“Dan kau harus tahu kalau seharusnya di dunia ini sama rasa sama rata. Tidak perlu ada kaum ningrat, golongan kaya, golongan miskin, rakyat. Semua sama.” Kedua mata Albert bersinar-sinar. Ia berbicara seolah tengah berpidato di depan banyak orang hingga kedatangan pelayan menghentikan ucapannya. 

Raden Soeryo tersenyum getir. “Tapi, dunia ini sudah ditakdirkan diisi manusia dengan kedudukan berbeda, Tuan. Kita tidak bisa menolaknya.” 

Bibir Albert menempel di gelas berkaki di tangannya. Lalu, perlahan cairan merah gelap itu beralih ke mulut. “Kita harus melawan, Soeryo. Apa kamu mau selamanya jadi kaki bangsa kulit putih? Apa kamu mau selamanya pribumi dihinakan?”  

“Seharusnya Tuan mengatakan hal itu pada bangsa kulit putih. Bukankah bangsa Tuan yang selama ini menganggap kami alas kaki?” Nada suara Raden Soeryo sedikit meninggi. Jika sesama pribumi yang mengatakan, tentu ia akan segera menyambut dan berada dalam satu barisan. 

“Untuk itulah aku dan teman-teman berkumpul. Apa kau pernah melihatku dan keluargaku merendahkan pribumi? Kau tahu kalau kami berdiri sama tinggi denganmu.” 

Helaan napas Raden Soeryo terasa berat. Kedua matanya menatap lekat Albert. 

“Aku hanya ingin mengajakmu bersama-sama melawan ketidakadilan ini, Soeryo.” Albert menggoyang gelas lalu kembali meneguk isinya. “Gerakan kami sudah sangat berkembang di Eropa. Untuk Tanah Hindia, semua hanya soal waktu.” Lelaki berwajah bersih itu meletakkan gelas yang kosong di atas meja. “Ngomong-ngomong, ayo masuk. Kita main billiard dan sedikit dansa-dansi. Siapa tahu ada gadis cantik di dalam sana yang bisa menemani kita.” Albert tersenyum lebar. 

“Maaf, Tuan. Saya harus pulang sekarang.” Raden Soeryo mengambil arloji saku. Belum terlalu larut, tetapi ia khawatir bertemu Juliana dan terlambat pulang kalau mengikuti ajakan Albert. 

“Oh, baiklah. Kau pasti takut pada Ali.” Albert terkekeh. “Dia memang punya banyak mata.” 

Raden Soeryo tersenyum. 

Keduanya serempak berdiri lalu berjalan santai menuju gedung yang terlihat gagah diterangi cahaya lampu berwarna kuning cerah. 

Mereka baru saja berpamitan ketika dari dalam gedung Emma dan Juliana melintasi selasar de Harmonie. 

Senyum merekah di wajah Albert. Ia memanggil Juliana sembari melambaikan tangan. 

Mendengar namanya dipanggil, Juliana menghentikan langkah lalu menyapukan pandangan ke sekeliling, mencari sumber suara. Ia mendengkus ketika dilihatnya Albert berjalan ke arahnya, meninggalkan Raden Soeryo yang mematung sesaat sebelum akhirnya melangkah cepat meninggalkan de Harmonie tanpa melihatnya lagi. 






Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang