Senja Kedua Puluh Tiga

90 12 1
                                    

Albert menatap punggung kereta yang membawa Juliana. Sepasang mata birunya menyimpan banyak tanya. Sementara itu, Ali memilih turun dari mobil Albert lalu masuk ke dalam rumah.

"Kalau tidak salah lihat, itu kereta Juliana van Bart." Albert bergumam dengan suara pelan, tetapi masih cukup bisa didengar Raden Soeryo.

"Kamu kenal dia?" Kali ini sepasang mata Albert menelisik Raden Soeryo seolah pribumi seperti dia tidak seharusnya kenal putri salah satu pejabat kolonial.

"Kami sama-sama murid Kawedri." Raden Soeryo menjawab cepat.

Wajah Albert melunak. "Ah, aku lupa soal itu, Soeryo." Ia menepuk bahu Raden Soeryo. "Aku lupa kamu murid Kawedri. Begitu pula Julie."

Raden Soeryo menarik napas lega. Ia masih bisa berkelit dan menyembunyikan hubungannya dengan Juliana.

"Untuk urusan apa Julie datang kemari?" tanya Albert setelah duduk di ruang tamu.

"Dia datang bersama beberapa teman lainnya untuk menjenguk saya, Nyo."

Jantung Raden Soeryo berdegup kencang. Nyalinya mulai menciut seperti tubuh siput yang menyusut terkena garam. Rupanya rasa ingin tahu Albert masih cukup besar.

Lelaki dengan rambut cokelat itu terdiam sesaat, seperti tengah menimbang jawaban Raden Soeryo. Bagaimanapun juga, kedatangan seorang gadis Belanda terpandang di rumah lelaki pribumi cukup membuatnya aneh.

"Tadi ada beberapa teman yang datang, Nona Van Bart salah satunya," terang Raden Soeryo. Ia masih melihat jejak rasa curiga pada tatapan Albert.

Albert mengangguk. "Ah, aku baru ingat, kamu salah satu siswa terbaik Kawedri. Tentu banyak yang mengenalmu meski kamu pribumi." Sinyo Belanda itu mencoba membuat permakluman.

"Aku juga datang untuk menengokmu, Soeryo. Tadi aku tidak sengaja bertemu Ali di Passer Baroe. Ia bercerita kalau kamu sudah kembali dari Majalengka dan sedang sakit."

Raden Soeryo kembali menarik napas lega. Sekarang ia bersyukur Mas Soeroso ikut datang bersama Juliana sehingga ia jadi punya cukup alibi.

"Terima kasih, Heer. Alhamdulillah saya sudah lebih baik." Wajah tegang Raden Soeryo menguap. Ia berusaha bersikap sewajar mungkin.

"Kapan Anda kembali ke Batavia? Sepertinya tempo hari Anda mengurus perkebunan teh di Malabar." tanya Raden Soeryo dalam Belanda.

"Baru kemarin sore. Aku mengambil cuti sampai lusa. Sudah lima bulan aku tenggelam di kebun teh sampai bau tubuhku seperti bau daun teh." Albert tertawa diikuti senyum lebar Raden Soeryo.

Albert mengambil sebuah amplop dari dalam tas. "Aku ke sini juga untuk mengundangmu. Ada makan malam di rumahku besok malam dan yah, sedikit obrolan politik seperti biasa. Pergerakan di Eropa berlangsung sangat cepat, entah kenapa di tanah Hindia semua begitu lambat," keluh Albert.

Raden Soeryo menerima amplop cokelat dan melihat isinya sekilas.

"Itu buah pikiranku. Bacalah," ujar Albert melihat wajah penuh tanya Raden Soeryo.

Raden Soeryo mengangguk dan berjanji akan membacanya nanti. Saat ini kondisi tubuhnya sedang tidak bisa diajak kompromi..

"Terima kasih atas undangannya, Heer. Tetapi saya mungkin tidak bisa hadir. Tubuh saya masih terlalu lemah. Udara malam tidak baik untuk saya saat ini."

Albert terdiam sesaat. "Hmm, baiklah Soeryo. Kamu benar, udara malam tidak baik untuk orang sakit sepertimu. Masih akan ada banyak pertemuan. Semoga suatu hari nanti kamu bisa hadir." Meski kecewa, tetapi Albert tidak bisa berbuat banyak. Ia juga tidak bisa menjamin semua akan baik-baik saja jika Raden Soeryo memaksakan diri hadir.

Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang