Senja Kedua Puluh Enam

31 8 0
                                    

Koh A Liem berkata tanpa sempat duduk. Air mukanya semakin keruh. Tangannya memilin-milin kumis. 

“Astagfirullah. Saya ikut prihatin, Koh,” ujarnya sembari menatap lamat-lamat lelaki bertubuh tinggi kurus itu. “Nanti saya sampaikan pada Abah.” Raden Soeryo menyodorkan kursi pada Koh A Liem dan mengambilkan segelas air putih. Juragan Tiongkok itu benar-benar terlihat seperti kerupuk disiram air. 

Koh A Liem meraih gelas dan meneguk isinya cepat-cepat seolah ada sesuatu tersangkut di tenggorokan. “Kapal itu baru akan tiba di Batavia sekira satu atau dua minggu lagi. Nanti orang suruhanku akan mengabari kalau barang pesanan Haji Said masih ada.” 

“Baik, Koh. Nanti saya sampaikan kepada abah.” 

“Semoga Tuan Said mengerti keadaanku. Aku tetap akan mengembalikan uang yang telah dibayarkan jika memang barang-barang pesanannya hilang.” 

“Insyaallah abah akan mengerti, Koh. Musibah, kita tidak pernah tahu.” 

“Kamu benar, Anak Muda.” Koh A Liem menepuk bahu Raden Soeryo. Muram di wajahnya berangsur sirna. Ia masih mengabarkan beberapa hal tentang kapal itu sebelum akhirnya pamit. 

Raden Soeryo mengucapkan terima kasih karena Koh A Liem sendiri yang menemui dan mengabarkan musibah kapal itu. Sutera dari China sangat digemari bangsa kulit putih karena kualitasnya dan Koh A Liem adalah salah satu pedagang sutera terbaik di Batavia berkat kejujuran dan pelayanan yang memuaskan. Selama setahun terakhir Haji Said berlangganan padanya. Selain itu, Koh A Liem juga membeli batik dari Haji Said untuk dibawa ke pasar Tiongkok.

Keberuntungan masih berpihak pada Koh A Liem. Tidak banyak barangnya yang terpaksa berakhir di laut. Begitu pula pesanan Haji Said masih bisa diselamatkan sebagian besar sehingga kerugian yang ditanggungnya tidak terlalu besar. 

“Tidak perlu dikembalikan uangku, Koh,” tolak Haji Said halus ketika mengambil barang di rumah Koh A Liem. Kapal dagang dari Tiongkok telah merapat di dermaga Tanjung Priok dan bongkar muat barang telah selesai. Rumah Koh A Liem ramai dikunjungi rekanan-rekanannya. 

“Jangan begitu, Tuan Haji. Musibah ini aku yang mengalami. Tidak patut jika Anda pun menanggunggnya.” 

Haji Said tersenyum menenangkan. “Ini perniagaanku juga, Koh. Wajar jika aku menanggung rugi.” 

Koh A Liem menggeleng. “Tidak-tidak, jangan seperti itu, Tuan Haji. Tidak patut berlaku seperti itu. Aku masih bisa membayar ganti rugi.” 

Senyum masih melekat di wajah Haji Said. Di sampingnya, Raden Soeryo sibuk mencocokkan catatan pesananannya dengan perhitungan Koh A Liem. “Begini saja, bayarkan uangku sebagian. Jadi impas karena kita sama-sama menanggung kerugian.” 

Koh A Liem terdiam sejenak. Tangannya memilin-milin kumisnya. “Baiklah. Begitu pun boleh.” Ia mengulurkan tangan. 

Haji Said menjabat tangan Koh A Liem lalu menunggu saudagar Tiongkok itu menuliskan jumlah gulden yang harus dibayarkan dan memberikannya padanya. 

“Bawalah catatan ini pada istriku, Tuan Haji.” Koh A Liem menunjuk dengan matanya seorang perempuan yang tengah duduk di salah satu sudut ruang tamu rumahnya. Di depan perempuan itu mengantre orang-orang yang mengurus pembayaran. 

“Sudah selesai pekerjaanmu, Yo?” Haji Said menoleh pada kemenakannya. “Ini jumlah uang yang akan dibayarkan Tuan A Liem.” 

Raden Soeryo mengambil kertas dari tangan Haji Said dan mencocokkan jumlahnya dengan catatannya. “Sudah benar, Bah,” ujarnya kemudian. 

Haji Said mengangguk. “Ambillah uangnya.” 

Raden Soeryo mengiyakan perintah Haji Said dan ikut mengantre bersama rekanan Koh  A Liem lainnya. 

Putaran waktu mengembalikan Raden Soeryo dengan kesibukan semula di Kawedri dan Pasar Baroe. Meski harus mengulang di kelas sebelumnya, priyayi Jawa itu tidak kehilangan semangat. Negeri Belanda dan Leiden tidak pernah hilang dari ingatan. 

Juliana menepati janjinya dengan tidak pernah sendirian menemui Raden Soeryo di perpustakaan. Sesekali gadis itu mengajak teman-temannya dan meminta matahari di hatinya itu menerangkan pelajaran aljabar atau fisika. 

Jangan harap konsentrasi gadis itu terkumpul sempurna. Selama setengah sampai satu jam mendengar penjelasan Raden Soeryo, hanya satu dua soal yang ia catat. Selebihnya ia hanya mengunci pandangannya pada priyayi Jawa itu. Teman-teman Juliana, terutama Emma, sudah mahfum dengan kebiasaan gadis itu. 

“Kenapa tidak kamu temui Soeryo di Pasar Baroe?” tanya Emma suatu hari ketika mereka pulang bersama. 

“Aku tidak tahu di mana tokonya.” Juliana menjawab malas. “Lebih baik aku menemuinya di rumahnya, Emma.” Suara roda delman menggilas jalan meningkahi ucapan Juliana. 

“Kaubilang saudara lelakinya taksuka kalau kau datang?”

Juliana mengedikkan bahu. Angin siang hari meniup rambut kedua gadis itu. “Hanya perasaanku saja mungkin.” Wajah kaku Ali mengapung di depan mata. Sungguh enggan ia datang ke rumah Haji Said, khawatir bertemu Ali. Lelaki itu mengingatkannya pada Tuan van Royen. 

“Kenapa tidak kautanya Soeroso? Dia pasti tahu.” 

Sepasang mata biru Juliana berpendar cerah. “Ah, kenapa tidak terpikir olehku, Emma?” 

Emma mengibaskan tangan. “Otakmu kalah oleh perasaanmu sendiri.” Ia tertawa mengejek. Gadis itu mengaduh ketika cubitan Juliana mendarat di lengannya. “Aku mengatakan yang sebenarnya,” lanjutnya setelah mengaduh. Tangannya mengelus lengannya. 

“Otakku masih bisa berpikir dengan baik, Emma. Kau keterlaluan.” Juliana merengut. 

“Coba aku lihat pekerjaan aljabarmu setelah tadi diterangkan Soeryo.” Mata Emma berkilat-kilat meresahkan. 

Juliana tergeragap. Tadi, ia hanya menyalin satu soal yang diterangkan Raden Soeryo dari lima soal yang harus dikerjakan. Selebihnya, ia sibuk mencorat-coret buku sembari mencuri-curi pandang pada Raden Soeryo. 

“Apa kataku. Otakmu tidak berfungsi di depan Soeryo. Lebih baik kau tidak usah bertemu. Aku khawatir, otakmu semakin lemah.” Emma kembali mengaduh. Cubitan Juliana kali ini lebih keras. 

Tiba-tiba, wajah Juliana bersinar cerah. Sebuah ide terbertik di kepalanya. “Parjo, setelah ini, pergilah ke Pasar Baroe dan cari Soeryo di sana.” 

Senyum Emma mekar sempurna. “Rupanya otakmu memang masih bekerja dengan baik.” Ia tertawa. 

Juliana melotot. 

Parjo serta-merta menghentikan delman. “Ma-maksud, Nona?” Ia menatap takut-takut Juliana. Semenjak terlibat hubungan gelap dengan Raden Soeryo, tingkah majikannya sering tidak terduga dan membahayakan dirinya sebagai jongos di sana. 

Juliana menarik napas panjang seraya menatap gemas kusir delmannya. “Setelah mengantarku pulang, pergilah ke Pasar Baroe dan cari Soeryo di sana. Kowe tahu, kan, yang mana Soeryo?” 

Anggukan Parjo membalas pertanyaan Juliana. 

“Aku dengar ia punya toko kain. Carilah Soeryo di sana. Jangan pulang sebelum ketemu.”                                                                                                                                                                            


Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang