Senja Kedelapan Belas

81 9 0
                                    


Selama satu hari dua malam Raden Soeryo bersama Kiai Halim dan sopir taksi yang belakangan diketahui bernama Sadiman, tertahan di tahanan tangsi militer Belanda. Letnan Van Wijk menepati janjinya dengan memberi mereka keistimewaan dibanding tahanan pribumi lainnya. Terbukti dengan diizinkannya mereka keluar dari tahanan setiap kali waktu salat tiba untuk sekadar membersihkan diri dan berwudu meski hanya lima menit. Selain itu ketiganya juga mendapat jatah makan dua kali dalam sehari yang cukup untuk mengganjal perut. 

Tangsi militer ini cukup ramai jika malam tiba. Suara teriakan, tawa, nyanyian, sahut-menyahut. Kadang diselingi suara perempuan yang menjerit manja. Begitu pula pagi ketika terang melipat gelap, teriakan dan langkah-langkah tergesa terdengar meningkahi raungan sirine. Suasana yang sangat jauh berbeda dengan penjara Weltreveden yang muram dan menawarkan rasa sakit serta duka.  

Untuk mengusir bosan, Raden Soeryo menulis catatan perjalanan sejak meninggalkan Batavia sampai terdampar di balik jeruji besi untuk kedua kalinya. Beruntung Letnan Van Wijk mengizinkannya dan Kiai Halim untuk membawa buku catatan dan pena. 

Raden Soeryo juga menulis surat yang ditujukan pada Albert dan Ali demi mengabarkan perlakuan tidak adil yang diterimanya. Ia akan mengirim surat-surat itu setelah bebas dan berkesempatan pergi ke alun-alun kota Majalengka karena kantor pos berada takjauh dari sana.

Di sisi lain, meski sangat ingin segera berkirim kabar, pemuda ningrat itu menahan diri untuk tidak menulis surat kepada Juliana. Ia khawatir, sebelum keluar dari tahanan, Letnan Van Wijk akan membaca tulisan-tulisannya. Jika perwira Belanda itu tahu hubungannya dengan putri pejabat kolonial, mungkin esok lusa dirinya sudah berada di atas kapal menuju tempat pembuangan. 

Selain menulis, sesekali Raden Soeryo mengobrol dengan Kiai Halim dan Sadiman. Kiai Halim sendiri menghabiskan waktu dengan menulis beberapa catatan dan membaca Al Quran, lebih tepatnya menghapal, karena ia tidak diizinkan membawa benda itu ke dalam sel. 

Setiap selesai salat, beberapa ayat dalam Al Quran beserta artinya meluncur dari lisan Kiai Halim, seperti tetesan embun pagi yang menyentuh kulit, dingin dan menyejukkan, menghapus gumpalan khawatir dan rasa takut yang sempat menyelusup ke dalam hati Raden Soeryo. Untuk itulah ia mengikuti jejak Sadiman yang mendengar dan menulis dengan khidmat kalimat demi kalimat yang diucapkan Kiai Halim. 

“Kalau hidup kita punya tujuan, kita tidak akan pernah bingung.” Waktu salat Magrib baru saja usai. Suasana tangsi masih cukup lengang. Kiai Halim duduk menatap Raden Soeryo dan Sadiman. “Dan sebagai muslim, tujuan kita pasti, Allah. Maka, apa yang kita lakukan ujungnya adalah Allah, karena Allah. Cukup Allah untuk hidup kita.” 

Ucapan Kiai Halim bagi Raden Soeryo seperti cahaya yang bersinar di malam gulita. Selama ini ia berpikir bahwa tujuan hidupnya sebagai manusia sama dengan semua cita-cita yang bersemayam di rongga kepala dan terpatri kuat di dalam hati. Ternyata, hal itu adalah jalan, bukan tujuan hidup.  

Raden Soeryo tahu bahwa ada hidup setelah mati. Namun, ia takpernah memikirkannya terlalu dalam karena baginya, kehidupannya masih teramat panjang, belum saatnya berpikir tentang ujung usia. Tiba-tiba ia merasa seperti menemukan segenggam emas saat mendengar Kiai Halim bertutur. Bak pancaran mata air pegunungan, ilmu kiai muda itu tumpah-ruah. Banyak pengetahuan baru yang ia dapatkan dari Kiai Halim. 

Priayi Jawa itu seolah diajak berkelana, menyusuri lorong waktu dan menjenguk perjalanan hidupnya sejak lahir hingga usianya sekarang. Lalu sampailah ia pada sebuah pertanyaan kunci, untuk apa dia hidup?

“Setelah laku batin yang panjang, Nak Mas Soeryo akan menemukan jawabannya. Allah yang akan menunjukkan jalannya. Sabar.” Kiai Halim meletakkan telapak tangannya di dada Raden Soeryo. Sepasang mata sedalam samudera lelaki itu menatap bijak muridnya. 

Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang