Senja Kedua Puluh Delapan

38 12 0
                                    

Raden Soeryo terperangah. Kepalanya terangkat hingga ia bisa memandang manik mata kelam Haji Said. Ia bahkan belum pernah berpikir untuk menikah saat ini. Raden Soeryo hanya ingin lulus secepatnya dari Kawedri dan pergi ke negeri Belanda untuk melanjutkan belajar di Leiden. 

“Usiamu sudah cukup. Walaupun sekolahmu belum selesai, tapi Abah kira hasil berjualan di sini cukup untuk mengongkosi hidupmu setelah menikah.” 

Raden Soeryo masih membeku. 

“Abah hanya minta, gadis yang akan kaunikahi seagama dengan kita.” 

Seketika tubuh Raden Soeryo bergetar. Akhirnya ia bisa mengerti ke mana arah pembicaraan Haji Sait. Seketika paras  menawan Juliana menggantung di depan mata. Hatinya berdenyut nyeri mengingat mereka berdua tidak akan pernah bisa bersatu. Jurang di antara mereka terlalu lebar dan ia tidak sanggup melompatinya. 

“Kami hanya teman, Bah.” 

Haji Said tersenyum. Ia urung membuka mulut karena pelayan datang membawa dua mangkuk besar mie kuah dan dua gelas teh manis. 

“Kalau begitu, jangan memberi harapan padanya.” 

Raden Soeryo tersedak. Hampir saja teh manis yang disesapnya tersembur kalau ia tidak buru-buru menutup mulut. Ia sudah pernah mengatakan pada Juliana kalau mereka tidak mungkin bersama, tetapi gadis itu benar-benar nekat. 

“Katakan padanya kalau kalian hanya teman dan dia tidak perlu terlalu berharap.” 

“Su-sudah, Bah.”    

Hening sejenak. Haji Said menyesap tehnya perlahan. 

“Soeryo, Abah bisa mengerti betapa sulit mengabaikan perasaan. Abah hanya bisa memintamu mempertimbangkan semua masak-masak. Bagaimanapun juga, tugas kita hanya menaati perintah Allah. Kalau Allah berkata tidak, maka kita pun demikian. Jika Allah membolehkan, maka kita pun demikian. Abah rasa kamu paham tentang itu.” 

Teh di hadapan Raden Soeryo mendadak terasa hambar. Tentu saja ia tahu tentang hal itu, tetapi setiap kali berhadapan dengan Juliana, otaknya seperti berhenti bekerja dan ia tidak pernah bisa berkata tidak. Gadis itu seperti morfin dosis tinggi yang disuntikkan ke tubuhnya. 

Raden Soeryo ingin berteriak dan mengusir sejauh mungkin Juliana dari hidupnya, tetapi gadis itu tidak pernah menyerah untuk selalu kembali dan kembali lagi. 

“Untuk hal ini, bersikaplah sedikit tegas, Soeryo. Jangan biarkan dirimu berlarut-larut dalam masalah ini.” Haji Said tersenyum bijak. Diteguknya teh hangat yang tersaji kemudian mulai menyuapkan makanan. 

“Nggih, Bah.” Akhirnya hanya kata itu yang terucap dari mulut Raden Soeryo setelah hening sesaat. 

“Katakan pada Abah kalau kamu sudah siap menikah. Kalau kamu belum punya calon, biar Abah carikan. Kalau kamu sudah ada pandangan, katakan pada Abah biar Abah lamar secepatnya.” 

Raden Soeryo tersenyum malu. “Nggih, Bah.” Andai Juliana adalah pribumi, putri keluarga ningrat seperti dirinya, tentu kejadiannya tidak akan sepelik ini. Raden Soeryo mengganjur napas, berharap suatu hari keajaiban menyapa dan ia bisa bersanding dengan Juliana. Bukankah Allah Maha Kuasa? 

Haji Said tersenyum lega. Setelahnya mereka lebih banyak membicarakan tentang pekerjaan di toko dan pelajaran Raden Soeryo. 

***

Juliana membaca setangan yang dibawa Parjo dengan dada berdebar. Untuk pertama kalinya Raden Soeryo mengajaknya bertemu. Selama ini, dialah yang selalu mengejar lelaki itu. Kadang Juliana begitu kesal mengapa harus ada pribumi dan bangsa kulit putih. Bukankah mereka sama-sama manusia? Mengapa harus merendahkan dan merasa lebih tinggi? Semua itu membuat Juliana marah sekaligus nelangsa. 

Juliana mengambil pena dan menuliskan surat balasan di setangan yang sama lalu melipatnya sekecil mungkin dan memberikannya pada Mirah agar menyisipkannya di antara wadah-wadah makanan yang akan diberikan pada Raden Soeryo. 

“Parjo, berikan langsung makanan ini pada Soeryo,” perintah Juliana keesokan harinya. 

Parjo mengusap dahi dengan punggung tangan lalu mengiyakan perintah Juliana. 

Hanya tiga hari yang menjeda saat pertemuannya dengan Raden Soeryo, tetapi terasa seperti tiga purnama. Hampir setiap malam ia tidak bisa tidur dan sering melamun di kelas. Beruntung ada Emma yang membantunya mengerjakan tugas-tugas dari guru. Kalau tidak, mungkin Willem harus menanggung malu karena putri bungsunya kembali membuat masalah di sekolah. 

“Apa urusan sekolahmu sudah selesai, Julie?” Willem menatap tajam putrinya ketika mereka minum teh dan Juliana meminta izin pergi ke de Harmonie. 

“Sudah, Pappie.” Juliana memamerkan senyum paling manis. Malam ini ia akan bertemu mataharinya dan rencana itu tidak boleh gagal. Ia harus bisa meyakinkan Willem. 

“Kalau begitu jangan pulang terlalu malam.”

“Tentu, Pappie. Aku hanya duduk-duduk dan mengobrol dengan teman-teman.” Juliana tersenyum lega. 

Willem mengangguk. 

Tepat ketika jarum menunjuk angka tujuh, Emma datang untuk menjemput. Sesampainya di de Harmonie, keduanya berjalan menuju samping gedung. Cuaca malam itu sungguh cerah. Angin bertiup pelan dan suhu tidak terlalu panas. 

“Pelan sedikit, Julie. Kamu hanya akan menemui Soeryo, bukan Ibu Ratu.” Emma terkekeh. 

Juliana bergeming. Diabaikannya candaan Emma hingga dilihatnya Raden Soeryo tengah duduk di kursi paling ujung, tempat yang sama dengan saat pertemuan pertama mereka di Harmonie. 

“Well, kekasihmu sudah datang. Aku masuk dulu.” Emma meninggalkan Juliana lalu berjalan santai menuju gedung Harmonie. 

Juliana merapikan rambut yang sebenarnya baik-baik saja kemudian melangkah perlahan mendekati Raden Soeryo. 

Merasa ada yang berjalan ke arahnya, Raden Soeryo menutup buku yang tengah dibacanya lalu mengalihkan pandangan ke arah Juliana. Seketika jantungnya berdetak cepat ketika dilihatnya gadis itu mendekat dengan senyum terkembang sempurna. Senyum yang selalu membuat hatinya kebat-kebit. Senyum yang tidak akan pernah ia lupakan meski susah payah ia berusaha mengusirnya agar pergi jauh-jauh dari ingatan. 

Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang