Senja Kedua Puluh Satu

86 12 4
                                    

Waktu berlalu seperti tiupan angin. Hampir empat purnama Raden Soeryo berada di pondok Kiai Halim dan ia mulai cocok dengan udara Pasirayu yang jauh lebih sejuk daripada Batavia. Suatu siang, ia baru selesai mengajar di Kweekschool milik persyarikatan ketika salah satu warga Parsirayu memberikan surat panggilan dari komandan tangsi Belanda. 

Raden Soeryo membereskan perlengkapan mengajar lalu berpamitan pada dua guru yang ditemuinya. Dengan malas ia mengayuh sepeda meninggalkan gedung Kweekschool. Atas bantuan persyarikatan, Kiai Halim membeli dan memperbaiki dua rumah yang berdekatan di Desa Sindang yang kemudian dijadikan tempat belajar siswa-siswa Kweekschool dan Volkschool. Kiai Halim mendatangkan guru dari kota untuk mengajar Kweekschool yang sebagian besar siswanya adalah murid Kiai Halim. Merekalah yang kemudian mengajar Volkschool. 

Kayuhan sepeda Raden Soeryo berhenti di depan tangsi Belanda yang menurutnya lebih mirip tempat tukang teluh berkumpul. Ia memperlihatkan surat panggilan pada penjaga yang langsung membawanya menemui sang komandan yang tengah duduk di ruang kerjanya. Letnan Van Wijk yang tengah membaca mendongakkan wajah lalu berdiri. Dengan tongkatnya, ia memberi isyarat pada serdadu yang mengantar Raden Soeryo untuk meninggalkan ruangan. 

Raden Soeryo tersirap ketika melihat tangan Letnan Van Wijk mengambil amplop dari atas meja. Seketika wajah Juliana terbayang di pelupuk mata. Ia khawatir, gadis Belanda itu nekad berkirim surat meski sudah dilarang. 

“Jadi Kowe memang murid Kawedri?” Tatapan Letnan Van Wijk menyambar tubuh Raden Soeryo yang mati-matian melawan rasa jeri. Nasibnya akan berakhir di sini jika surat di tangan perwira Belanda itu benar-benar dari Juliana. 

“Iya, Tuan.” Raden Soeryo mendongakkan wajah hingga bersitatap dengan Van Wijk. 

Sepasang mata legam Raden Soeryo yang menatap tanpa rasa takut membuat Letnan Van Wijk seperti digelantang di tengah terik matahari. “Hmm …, murid Kawedri seperti Kowe sungguh berani berhubungan dengan orang persyarikatan.” Letnan Van Wijk mengarahkan tongkat di tangan kirinya ke tubuh Raden Soeryo. “Apa Kowe tahu resikonya?” 

Hening. Raden Soeryo memilih untuk mengacuhkan pertanyaan Letnan Van Wijk. Tidak ada yang beresiko di tanah jajahan selain tunduk dan patuh pada keputusan mereka.  

“Aku sudah mengirim catatan tentang Kowe di sini ke Algemene Secretarie dan direktur Kawedri.” 

Tarikan napas Raden Soeryo terasa berat. Ucapan Van Wijk seperti semburan api naga yang sering disebut dalam dongeng-dongeng.

“Jangan macam-macam atau pelajaranmu di Kawedri sia-sia,” pungkas Van Wijk Ia melempar amplop di tangannya ke atas meja dan memberi isyarat pada Raden Soeryo untuk mengambil. 

Setelah amplop berpindah tempat, komandan tangsi itu memberi isyarat agar Raden Soeryo meninggalkan ruangan. 

Kayuhan sepeda Raden Soeryo kali ini sangat cepat karena lelaki muda itu ingin segera membuka amplop yang diterimanya. Ia menarik napas lega ketika surat itu dikirim oleh direktur Kawedri dan berisi perintah untuk mendaftar tahun pelajaran baru dan ujian akhir, bukan surat Juliana seperti yang dikhawatirkannya. Walaupun harus mengulang di kelas yang sama, ternyata ia tetap harus mengikuti ujian. Priayi Jawa itu melihat almanak. Hanya tersisa waktu dua minggu untuk mendaftar ujian dan tahun pelajaran baru. 

“Kebetulan empat hari lagi Abah akan ke Batavia. Kamu bisa sekalian ikut,” Ujar Kiai Halim ketika Raden Soeryo meminta izin untuk pulang lebih cepat. Jika mengikuti penanggalan dan jadwal tahun pelajaran baru, semestinya masih ada waktu dua bulan lagi di tempat Kiai Halim. 

“Pelajaranmu di sini belum selesai. Ilmu yang kamu pelajari baru setetes. Samudera yang kamu arungi baru sepenggalah. Lanjutkan pelajaranmu di tempat Kiai Hanafi di Pekojan.” Kiai Halim mengambil kertas dan pena. “Berikan surat ini pada beliau.” 

Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang