Senja Kedua Puluh Dua

75 12 2
                                    

Cuaca  panas Batavia  membuat kondisi tubuh Raden Soeryo melemah setelah sebelumnya tinggal di daerah bersuhu rendah. Empat hari ia tergolek di tempat tidur dan hanya turun untuk ke kamar kecil serta berwudu. Baru pada hari kelima demam di tubuhnya turun dan perutnya tidak lagi menolak makanan. Almanak di dinding kamar memberi kabar jika waktu untuk mendaftar sekolah dan ujian hanya tersisa dua hari. Raden Soeryo memijit pelipis, berharap esok kondisinya lebih baik lagi sehingga ia bisa ke Kawedri. 

“Apa tidak bisa diwakilkan, Yo? Biar Ali yang mengurus.” Haji Ali menatap wajah kemenakannya yang pucat dan lemah. Mereka tengah sarapan bersama setelah sebelumnya Raden Soeryo selalu makan di kamar. 

Raden Soeryo menggeleng lemah. “Harus saya sendiri, Bah, yang datang ke sekolah.” 

“Besok saya antar, Bah,” sahut Ali dalam bahasa Jawa halus. Semenjak tinggal di rumahnya, ini kali pertama ia melihat sepupunya sakit lebih dari tiga hari. “Nanti saya izin dulu ke tuan redaktur supaya besok bisa mengantar Soeryo.”

“Atau biar ditemani Nakmas Soeroso? Biar nanti sore Abah mampir pemondokan dia untuk minta tolong.” 

“Tidak usah, Bah. Besok saya saja yang mengantar Soeryo.” 

Haji Said mengangguk setuju. Keesokan harinya, usai sarapan, Bang Juki membawa Ali dan Raden Soeryo ke Kawedri. 

Pohon beringin tua menyambut kedatangan Ali dan Raden Soeryo.  Mereka tiba ketika jam pelajaran tengah berlangsung sehingga gedung megah itu terlihat lengang. Sekian detik wajah Raden Soeryo seperti tengah menatap cahaya yang berpendar dari kotak kaca. Kenangan akan ruang perpustakaan penuh buku, laboratorium tempatnya bertukar pikiran dengan Meneer Van Royen, juga ruang kelas yang mempertemukannya dengan Juliana, muncul satu per satu.  

Sinar matahari sepenggalah menyirami bumi. Angin meniup bendera triwarna yang bertengger angkuh di tengah halaman. Raden Soeryo melangkahkan kaki setelah sejenak terpaku. Butuh waktu cukup lama untuk melintasi halaman yang tertutup rumput berwarna hijau. Tubuhnya begitu lemah sehingga langkah kakinya pun teramat pelan. 

“Aku kira kamu sudah tidak akan melanjutkan sekolah.” Pengurus sekolah berujar santai saat menerima kedatangan Raden Soeryo. 

Ali menarik napas berat sembari menatap jengkel lelaki peranakan di hadapannya. 

Tiga puluh menit Raden Soeryo mengurus pendaftaran sekolah dan ujian. Ia harus menunggu pengurus sekolah mendapatkan tanda tangan direktur Kawedri dan Ketua Dewan Sekolah sebagai izin resmi untuk melanjutkan sekolah. Ia juga harus menandatangi surat pernyataan tidak akan memukul siswa Eropa dan membayar denda sebesar 50 gulden. 

“Sebelum masa ujian, kamu diizinkan belajar di perpustakaan, tapi tidak boleh masuk kelas.” Pengurus sekolah menyerahkan surat keterangan masuk kelas empat dan surat izin mengikuti ujian.

Raden Soeryo mengangguk. Ia mengambil kertas-kertas di atas meja dan memasukkan ke dalam tas. 

“Satu lagi,” ujar pengurus sekolah menahan Raden Soeryo dan Ali yang sudah berdiri. 

“Peraturan di sekolah ini masih sama. Pribumi tidak diizinkan memakai pakaian Eropa.” 

Senyum sinis tercetak di wajah pengurus sekolah.  Mata cokelatnya menatap Raden Soeryo dan Ali seperti melihat pesakitan di tahanan Stadhuis. 

Ali melengos. 

Raden Soeryo mengangguk. Ia tidak punya cukup tenaga untuk berdebat. Kepalanya seperti disesaki ribuan jarum dan ia ingin segera pulang untuk beristirahat. Lagi pula, ia baru saja kembali dari hukuman dan harus bertingkah laku baik selama dua tahun ke depan jika tidak ingin didepak dari sekolah elit di tanah Hindia ini. 

Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang