Senja Keenam Belas

85 10 3
                                    

Ruang tamu berukuran sembilan meter persegi itu mendadak seperti diselimuti hawa panas. Sepasang mata berbeda warna milik Kiai Halim dan Letnan Van Wijk saling menyorot tajam sementara Raden Soeryo dan sopir taksi menahan napas, menanti tindakan apa yang akan dilakukan Kiai Halim. 

“Apa yang salah dengan buku-buku yang saya bawa, Letnan?” Kiai Halim memecah kebisuan yang sempat tercipta. “Semua buku itu keluaran Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur. Bukankah itu sudah sesuai arahan pemerintah kolonial?” Suara Kiai Halim penuh tekanan. 

Letnan Van Wijk mengalihkan pandangan sejenak sebelum kembali memindai wajah Kiai kharismatik di hadapannya. Tentara Belanda berusia jelang empat puluh tahun itu merasa resah ketika tidak melihat sorot ketakutan di mata Kiai Halim. Justru sebaliknya, tatapan kiai muda itu segarang singa. “Saya hanya menjalankan perintah, Ajengan. Buku apa pun yang Anda bawa harus diperiksa dulu dan dilaporkan ke Algemene Secretarie.” 

“Astagfirullah,” desis Kiai Halim. “Kalau begitu, silakan diperiksa dulu buku-buku itu. Saya tunggu di sini,” tegasnya kemudian. 

“Ini sudah terlalu sore, Ajengan. Bisa jadi jawaban Algemene Secretarie baru kami terima besok. Lebih baik Ajengan pulang dulu.” 

Kedua sudut bibir Kiai Halim terangkat. “Saya tidak akan pergi tanpa membawa buku-buku saya, Letnan.” 

Letnan Van Wijk menarik napas berat, memutar otak bagaimana caranya agar Kiai Halim bersedia angkat kaki sesegera mungkin. Ia tidak tahan menghadapi manusia seteguh karang yang sangat dihormati penduduk di sekitar tangsi ini. 

“Jadi, apa sebenarnya masalah buku-buku saya, Letnan?” Kiai Halim kembali membuka suara. Kitab-kitab berbahasa arab ditahan ia bisa mahfum. Namun, buku-buku yang ia pesan dari Ali untuk perpustakaan Kweekschool milik persyarikatan dan pondok miliknya hanyalah buku-buku umum yang direkomendasikan Pastur Van Ries. Seharusnya tidak ada alasan bagi pemerintah kolonial untuk menahannya. 

“Atau kalian memang tidak ingin pribumi pintar?” Kiai Halim menusuk tepat di jantung Letnan Van Wijk. Bumiputra terpelajar telah menjadi momok bagi pemerintah colonial. Tidak heran pergerakan mereka semakin dibatasi. 

Sejenak Letnan Van Wijk tersirap. Tentu saja pemerintah kolonial tidak benar-benar ingin memberi kesempatan pribumi untuk bersekolah. Apa yang mereka lakukan hanya kamuflase untuk menutupi penindasan dan penjarahan di Tanah Hindia. 

“Anda berpikir terlalu jauh, Ajengan. Jika pemerintah tidak ingin pribumi terpelajar, tentu tidak akan ada sekolah-sekolah di Tanah Hindia ini.” 

“Kalau begitu, biarkan saya bawa buku-buku itu. Anggaplah sebagai balas budi bangsa kulit putih setelah menjarah negeri kami.” 

Raden Soeryo terperangah mendengar ucapan Kiai Halim. Ia belum pernah melihat seorang pribumi begitu berani berbicara di depan bangsa kulit putih selain Tuan Haji Agus Salim. Bahkan Ali pun tak segarang itu di hadapan Sinyo-sinyo Belanda. 

“Toh tanpa menjarah tanah kami, bangsa Belanda mungkin sudah tak bernilai lagi di Eropa.” Kiai Halim kembali melesatkan peluru tajam, menembus jantung Letnan Van Wijk. 

Letnan Van Wijk mendengkus. Tingkah lelaki berpeci hitam di hadapannya semakin menyebalkan. Andaikan tidak ingat perintah atasannya untuk tidak melukai Kiai Halim karena bisa memantik perlawanan rakyat, ia ingin menembaknya saat ini juga. “Silakan tunggu di sini, Ajengan. Saya akan kabari jika jawaban Algemene Secretarie sudah kami terima,” ujarnya kemudian. Letnan Van Wijk bangkit kemudian meninggalkan ruangan dengan menahan wajah geram. 

“Ajengan juga punya Kweekschool?” Raden Soeryo tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Nyala semangat terlihat di manic mata sekelam malam milik pemuda ningrat itu. Ia mengira Kiai Halim hanya memiliki sekolah agama. 

Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang