Senja Kedua Puluh Tujuh

30 10 0
                                    

Parjo mengelus dada. Bayangan Tuan Willem mengapung di pelupuk mata. “Ba-bagaimana kalau Tuan Willem pulang dan saya belum kembali, Nona?”

“Itu urusanku.Yang penting kowe harus ketemu Soeryo.”

Parjo memasang kembali ikat kepala yang tadi sempat dilepasnya karena sepertinya suhu udara Batavia mendadak terasa lebih panas dari biasanya.

“Sudah, ayo cepat pulang.” Juliana menepuk bahu Parjo dengan keras. 

“Ba-baik, Nona.” Parjo menghadapkan tubuh ke depan lalu menghela kuda agar segera bergerak. 

Sesampainya di rumah Juliana, ia meminjam sepeda salah satu jongos dan memacunya ke Pasar Baroe. 

“Sedikit bekal untukmu. Kalau lapar, makanlah di kedai.” Juliana mengulurkan beberapa keping uang logam pada Parjo sebelum lelaki itu pergi. 

“To-tolong bantu saya menghadapi Tuan Willem kalau saya terlambat pulang, Nona.” Parjo tidak peduli apakah nanti akan kelaparan atau tidak. Ia justru mengkhawatirkan nasibnya ke depan kalau Willem sampai tahu dia pergi di luar jam anntar jemput Juliana. 

“Soal itu, kau tak perlu takut. Sekarang pergilah.” 

Parjo mengangguk kemudian mengayuh sepedanya cepat-cepat. Ia tidak memedulikan sengatan sinar matahari yang membuat peluh di tubuhnya bercucuran membasahi surjannya. Yang ada di pikirannya adalah ia segera sampai Pasar Baroe dan menemukan Raden Soeryo. 

Roda-roda sepeda yang dikayuh Parjo berhenti ketika ia mendadak menarik rem. Matanya melebar dan hidungnya kembang kempis. Di depannya, lelaki dengan surjan lurik dan ikat kepala cokelat baru saja memarkir sepeda di depan Pasar Baroe. 

Tanpa membuang waktu, Parjo segera mengikuti jejak pemuda itu. Ia bisa memastikan kalau orang yang di hadapannya adalah Raden Soeryo. Meski baru sekali bertemu, tetapi Parjo masih ingat perawakan dan wajah Raden Soeryo. 

Dalam diam, ia mengikuti langkah Raden Soeryo. Pemuda itu berhenti di depan toko cerutu dan kopi milik Tuan Eduard. Ia terlihat bercakap-cakap dengan penjaga toko yang juga pribumi kemudian pergi setelah menerima amplop cokelat tebal. 

Sesuai perintah Juliana, Parjo mengikuti Raden Soeryo sampai ke tokonya. Setelah memastikan bahwa toko itu menjadi tempat Raden Soeryo bekerja selepas dari Kawedri, Parjo meninggalkan Pasar Baroe. Ia masih punya cukup waktu sampai rumah Juliana sebelum Willem pulang dari kantor. 

“Bagaimana, Parjo? Apa kamu berhasil menemukan Soeryo?” Juliana yang menunggu kedatangan Parjo di teras menyambutnya dengan hati was-was.

“Alhamdulillah ketemu, Nona.” Parjo tersenyum bungah. Wajahnya yang berkeringat berkilauan diterpa sinar matahari sore. Helaan napas lega keluar dari mulut lelaki itu saat melihat tidak ada mobil Willem di halaman. 

“Dank u, Parjo.” Juliana menepuk bahu Parjo lalu menyodorkan selembar gulden. “Sekarang panggil Mirah ke mari.” 

“Baik, Nona,” ujar Parjo setelah mengucapkan terima kasih sambil mengangguk sopan. 

“Mirah, mulai besok, kowe siapkan makan siang untuk Soeryo. Biar Parjo yang mengantar makan siang itu ke Pasar Baroe,” ujar Juliana setelah memastikan tidak ada orang yang mendengar pembicaraan mereka. Sore itu Anna tidak ada di rumah dan pelayan-pelayan lain sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. 

Parjo dan Mirah saling pandang. 

“Saya, Nona?” Telunjuk Mirah menunjuk dadanya. 

“Iya, kowe. Di sini cuma kowe yang namanya Mirah.” Juliana mengerucutkan bibir. Mirah ini meski kadang lucu, tidak jarang juga meresahkan. 

“Begitu aku pulang, kamu berikan pada Parjo. Setelah itu, Parjo akan membawanya ke Pasar Baroe.” 

“Setiap hari, Nona?” Lagi-lagi Mirah bertanya. 

“Iya. Kowe tahu kapan aku pulang bukan?”

Mirah mengangguk. 

“Kowe sudah ngerti tugasmu Mirah?” 

Mirah mengangguk. 

Bibir Juliana membentuk bulan sabit. 

“Kowe, Parjo, sudah ngerti?” 

“Sudah, Nona.” 

Juliana tersenyum puas. 

“Ba-bagaimana kalau Nyonya bertanya, untuk siapa makan siang itu?” 

Juliana terdiam. Benar juga. Bagaimana jika seisi rumah tahu kalau setiap hari ia mengirim makanan pada Raden Soeryo?

“Nanti aku pikirkan lagi, Mirah. Yang penting kamu sudah mengerti.” 

“Satu lagi, Nona.” Mirah memberanikan diri menatap Juliana meski tangannya sibuk meremas ujung kebaya. 

“Apa lagi?” 

“Bisakah Nona memberitahu juru masak kalau saya harus menyiapkan makan siang untuk Tuan Soeryo? Saya bisa bersembunyi dari Nyonya, tetapi tidak akan bisa mengelabui juru masak.” 

Juliana bergeming sesaat. Dalam hati ia menyetujui ucapan Mirah. Juru masak harus diberitahu karena dia bisa membocorkan rencana ini pada mammienya. 

“Baik, Mirah. Aku akan bicara padanya. Kowe tenang saja.” 

Mirah tersenyum lega. 

“Sekarang kowe boleh pergi.” Juliana memberi isyarat dengan tangan pada Parjo dan Mirah. 

Setelahnya, pekerjaan Mirah dan Parjo bertambah. Tanpa sepengetahuan Anna, ia bersekongkol dengan juru masak menyiapkan makan siang untuk dikirim ke Pasar Baroe. 

***

Langit gelap ketika Haji Said meminta Raden Soeryo menutup kios. Hari ini sungguh melelahkan karena mereka buka hingga malam. Sebulan lagi perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina sehingga warga Belanda beramai-ramai membeli kain untuk dibuat menjadi gaun atau stelan jas yang akan dipakai saat hari besar itu. Para pejabat pribumi juga melakukan hal serupa karena mereka harus menghadiri rangkaian peringatan hari besar itu. Tanah Hindia selalu meriah saat ulang tahun Ratu yang dirayakan selama sebulan penuh. 

“Siapa yang selalu mengirim makan siang untukmu, Yo?” Haji Said menatap Raden Soeryo lamat-lamat ketika mereka tengah makan malam di kedai. Haji Said sengaja mengajak kemenakannya makan di luar agar bisa berbicara dari hati ke hati. 

Raden Soeryo menelan ludah. Kepalanya tertunduk dan kedua kakinya bergerak-gerak gelisah. Selama ini Haji Said tidak pernah mengatakan apa pun saat melihat kiriman makan siang dari Juliana. Ia tidak mengira jika diam-diam abahnya memperhatikan. 

“Apa nona Belanda itu, Yo?” 

Bibir Raden Soeryo terkatup rapat. Ia ingin mengiyakan, tetapi khawatir Haji Said marah. Namun, berbohong juga tidak menyelesaikan masalah. Ia tidak terbiasa berbohong dan tidak ingin membohongi pengganti orangtuanya itu. 

“Abah tidak akan marah, Yo.” Suara Haji Said tetap tenang. Ia bisa mengerti perasaan Raden Soeryo. Bagaimanapun juga, ia pernah muda. 

“I-iya, Bah.” Suara Raden Soeryo terdengar seperti embusan angin sepoi. Kepalanya masih tertunduk, tak berani beradu pandang dengan Haji Said. 

Haji Said menarik napas panjang. “Abah tidak melarangmu menjalin hubungan dengan siapa pun. Kalau kamu sudah siap menikah, Abah akan lamarkan.” 

Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang