Senja Kedua Puluh Sembilan

34 11 0
                                    

Langkah Juliana melambat. Ditatapnya Raden Soeryo dengan mata bersinar-sinar dan hati bungah. Wajah gadis itu seterang kejora. Sungguh, ia ingin waktu berhenti berdetak dan bumi tidak lagi mengelilingi matahari. Andaikan bisa, ia ingin terperangkap di semesta yang tiada akhir. 

Kesiur angin malam meriapkan rambut bergelombang milik Juliana. Debar di dada Raden Soeryo semakin kencang. Ia berdiri kaku di samping meja. Mereka memang sudah sering bertemu di sekolah, tetapi pertemuan di luar kawedri selalu terasa berbeda. 

“Sudah lama, Soeryo?” Juliana berdiri di samping kursi. Suara hatinya memintanya untuk menghambur ke pelukan Raden Soeryo yang sedang mencengkeram kursi, tetapi otaknya buru-buru melarang. 

Raden Soeryo menggeleng sembari tersenyum. “Sekitar lima belas menit yang lalu, Nona.” Pemuda itu menggeser kursi agar Juliana bisa duduk. Detak jantung Raden Soeryo semakin cepat ketika hidungnya menghidu wangi rambut Juliana. 

“Maafkan aku terlambat,” ujar Juliana setelah duduk. Selama ini ia selalu tepat waktu, tetapi sejak sore ia terlalu sibuk memilih baju sehingga terlambat. Berkali-kali Juliana berganti pakaian demi mencari yang paling cocok. Sungguh bertemu mataharinya membuat Juliana gugup.

Raden Soeryo mengangguk sopan. “Tidak mengapa, Nona. Lima belas menit tidak terlalu lama.” Ia mengedarkan pandangan, mencari pelayan. Dilambaikannya tangan pada pelayan yang baru saja mengantar hidangan ke meja tidak jauh dari tempatnya duduk. 

Tidak membutuhkan waktu lama bagi keduanya untuk mendapatkan apa yang mereka pesan. Pelayanan di de Harmonie cukup memuaskan karena pesanan para tamu selalu tersaji dengan cepat.

“Aku kira, engkau tidak akan pernah mengundangku, Soeryo.” Juliana mengambil sepotong bitterballen dan menggigit sebagian. Mata birunya beradu pandang dengan Raden Soeryo.  

Bibir Raden Soeryo membusur. Sejurus kemudian, ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Kalau bukan karena teguran Haji Said, ia tidak akan pernah mencari mati dengan mengundang Juliana. Meski kini, ia bingung harus memulai dari mana karena semua kata yang telah terangkai di kepala mendadak larut bersama teh di dalam teko. Ia tidak ingin menyakiti Juliana, tetapi juga tidak hendak mengecewakan Haji Said dan Kanjeng Rama. 

“Apa ada masalah, Soeryo?” Hati Juliana mendadak risau saat melihat perubahan raut muka Raden Soeryo. Ia meletakkan sisa potongan bitterballen ke piring kecil lalu memandang Raden Soeryo dengan tatapan khawatir. “A-apa aku sudah membuat masalah yang menyulitkanmu?” Sinar di mata Juliana meredup. Perlahan tangannya bergerak meraih jemari Raden Soeryo. 

Refleks, Raden Soeryo menarik tangannya. Ia masih ingat nasihat Haji Said dan Kyai Halim. “Ma-maaf, Nona.” Buru-buru diraihnya saputangan dari saku lalu diusapkan ke wajah. 

“Aku yang minta maaf, Soeryo.” Wajah Juliana semakin muram. Ia menarik tangannya lalu meremas tepian gaun. Pangerannya pasti khawatir akan mendapat masalah jika mereka terlihat akrab. 

“Sebenarnya, ada yang ingin saya bicarakan, Nona,” ujar Raden Soeryo setelah berhasil menguasai diri. 

Wangi daun teh dan melatih menyelusup hidung ketika Juliana menuang cairan cokelat terang itu ke cangkir lalu menyodorkan pada Raden Soeryo. “Aku akan mendengarnya, Soeryo.” Bibirnya membentuk bulan sabit. 

Raden Soeryo meraih cangkir dan menyesap isinya perlahan. Ia memandang langit sesaat seolah semua kata yang ingin diucapkannya tertoreh di sana dan ia tinggal membaca. “Saya ingin mengucapkan terima kasih karena Nona setiap hari mengirim makan siang ke Pasar Baroe.” 

Paras cantik Juliana berhias senyum. Binar di matanya kembali dan dadanya mengembang seolah udara yang masuk lebih banyak dari biasanya.

“Aku senang kalau kau menyukainya.” Juliana meneguk tehnya yang mendadak terasa lebih manis. “Sayang, bukan aku yang memasak. Kau tahu, tugas di sekolah sangat banyak dan Pappie masih menyuruhkan belajar di luar jam sekolah.” 

Hati Raden Soeryo mulai goyah mendengar ucapan Juliana. 

“Lain kali pasti aku yang akan memasak untukmu, Soeryo.” Juliana memperlihatkan deretan gigi yang bersih dan terawat miliknya. “Meskipun tidak pandai, tetapi aku bisa. Katakan saja apa makanan yang kau sukai.” 

Selama beberapa detik Raden Soeryo tercenung. Ia benar-benar tidak tega. Kembali, dihelanya napas dalam-dalam. “Sa-saya menyukainya, Nona. Rasanya sungguh enak.” Raden Soeryo menundukkan kepala sesaat kemudian kembali menatap Juliana. “Tapi saya minta maaf, tolong jangan melakukannya lagi.” Raden Soeryo mengalihkan padangan ke gedung de Harmonie sementara tangannya meremas tepi celana.  

“Kenapa?” sahut Juliana cepat. Bunga yang bermekaran di hatinya seketika layu. Ia tidak menyangka Raden Soeryo menolak pemberiannya. 

Hati Raden Soeryo mendadak kebat-kebit seperti rumpun bambu ditiup angin. Sekuat tenaga ia berusaha menguatkan diri. Apa pun yang terjadi, semua harus usai malam ini. 

Juliana mencondongkan tubuhnya. “Apa ada yang tidak suka aku mengirim makanan untukmu?” 

Raden Soeryo menelan ludah lalu menggeleng cepat-cepat. 

Juliana berdecak. Ia mengerucutkan bibir dan pipinya sedikit menggembung. “Lalu, apa masalahnya, Soeryo?” 

Sunyi sekejap. Kedua manusia beda bangsa itu terperangkap dalam pikiran masing-masing.

“Maaf, Nona. Saya kira Anda sudah mengerti kalau kita berdua ditakdirkan berbeda.” Raden Soeryo memecah beku. Sepasang matanya menatap lekat Juliana. Sungguh berat terasa olehnya harus jujur pada Juliana. 

Juliana membuang muka. “Soal itu lagi,” gerutunya dalam hati. 

“Saya memang bersekolah di sekolah kulit putih, memakai pakaian kulit putih dan sesekali makan makanan yang sama dengan bangsa kulit putih. Tapi semua itu tidak akan mengubah keadaan. Bagaimanapun juga, saya tetap pribumi. Selamanya pribumi.” 

Dada Raden Soeryo serasa ingin meledak. Tidak ada yang lebih mengecewakan Raden Soeryo selain perbedaan bangsa yang menjadikannya lebih rendah ketimbang Juliana. 

“Mulai saat ini, anggaplah saya tidak ada, Nona. Anggaplah saya hanya sebutir debu yang pernah hinggap di permukaan jendela rumah Nona dan sudah dibersihkan.” 

Hati Raden Soeryo seperti ditusuk pedang paling tajam. Ia mengalihkan pandangan ke salah satu sisi Harmonie. Ingin rasanya ia memeluk Juliana untuk terakhir kalinya lalu memelesat pergi.  

“Allah ...,” desisnya perih. Bolehkah kali ini ia meminta agar diizinkan tetap bersama Juliana? Bolehkah ia memelihara perasaan ini hingga nanti lulus dan bisa membawa pergi Juliana? Bolehkah kali ini saja ia meminta agar Juliana menjadi miliknya? 


Senja di Batavia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang