Pernahkah terpikir olehmu, betapa mereka yang diam justru adalah orang yang paling banyak mengerti?
Yah, sepertinya itu memang fakta.
Mereka tidak hanya berkoar sana-sini, meminta pembenaran, memaksa menyalahkan, tertawa keras-keras. Mereka hanya menikmati kebisingan, tertawa dalam pikiran.
Aku tidak begitu tahu rasanya. Karena aku termasuk spesies manusia yang bisa bicara dan bicara jika mau.
Tapi aku punya mata untuk sekadar melihat dan menilai ... orang bisu yang baru saja pindah di dekat rumahku adalah orang yang jenius.
Dia tidak bicara, tapi dia paham banyak hal.
Sebagai contohnya, dia paham kalau aku sedang mengira-ngira isi pikirannya saat sedang duduk bersantai di depan terasnya, menikmati sore. Dan aku disana.
Dia hanya tertawa kala itu, menuliskan sesuatu di buku catatan besar yang berada di atas pangkuannya. "Sedang memikirkan apa?"
Padahal itu pertama kalinya kami bicara. Dan dia yang memulai dengan menuliskannya.
Aku menggeleng sebagai balasan. Ketahuan curi-curi pandang.
Dia mendekat, duduk di sebelah bangku panjang depan rumahku. Begitu saja.
"Hari yang gelap." Tulisnya lagi di bukunya. Aku menautkan alis tak paham, sore secerah ini ... apa maksudnya? dia tersenyum saja.
"Bagaimana?"
Aku semakin tidak paham apa yang ia tanyakan. Aku hanya mengangguk saja.
Tapi ada hal yang membuatku sedikit resah saat ini. Dia bisu, tidak tuli 'kan?
Maka dia pasti mendengar kekacauan dari dalam rumahku. Entah itu teriakan, atau lemparan barang-barang. Atau umpatan yang jelas-jelas ditujukan padaku.
Mungkin itu yang dia maksud Hari yang gelap, meski bukan maksudnya buat menyinggungku. Dia bersikap seakan tidak mendengarnya.
Anak-anak yang bermain di depan kami saja lari ketakutan mendengar suara piring pecah.
Aku, sudah biasa. Sebentar lagi juga mereda.
Atau orang itu akan keluar dan menyeretku buat dihajarnya.
"KEMANA KAU HAH? KEMBALI KEMARI!"
Ibuku di dalam mengamuk, mentalnya sedikit tidak baik-baik saja. Sebelum di keluar, kurasa aku harus kembali.
Tapi terlambat dia sudah kekuar sambil membaca pecahan kaca, atau piring atau apalah.
Menatapku marah.
"Kau meninggalkanku dan bermain dengan orang asing? Siapa dia?!"
Itu membuatku sedikit tersentak, aku menatap orang disampingku sejenak. "Aku masuk dulu-"
Dia menarik lenganku. "Coba katakan padanya, kau muak, katakan padanya kau amat sangat membencinya, kau tidak tahan lagi dengan segalanya."
Dia menulis itu dengan huruf besar. Ibuku melihatnya, matanya membelalak, menatapku nyalang.
Aku menelan ludah. Apa-apaan?
"Kau membenciku?" tanyanya.
Aku tidak bisa menatap siapa-siapa. Orang di depanku mengangguk. Menyuruhku mengakui semuanya.
"Kau, tidak usah berlagak sok--" ibuku sudah kembali berteriak.
"Kau bisa pergi! Kau--"
"AKU TIDAK MEMBENCIMU!"
Aku mengangguk untuk pamit pada orang bisu itu. Menyeret ibuku yang terlihat shock kuteriaki.
Aku sedikit merasa bersalah. Tapi diamnya yang cukup lama itu membuatku merasa aneh.
"Kau tidak membenciku?" Tanyanya pelan. Seperti suara ibuku yang normal.
Aku menggeleng nyaris menangis "Aku tidak akan pernah."
Bagaimana orang lain bisa lebih tahu, kalau ibuku hanya butuh pengakuan semacam itu. Untuk membuatnya tidak merasa paling buruk.
Aku tidak pernah mau tahu.
****
A/N;
18-02-21
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Come Here
Poetry[bisikannya tak terdengar] *** Tentang ketidaksempurnaan. Aku dan egoisme. Aku dan menyerah. Aku dan suka duka. Aku dan semesta. Aku dan lelah. Aku dan rasa yang tak pernah terucap kata. Aku dan manusia. Aku dan pemilik semesta. Bagaimana dengan, ki...