Bila memungkinkan, aku tak ingin berjumpa denganmu. Apa angin bilang begitu padamu? Bila memungkinkan, aku tidak akan mau bersyukur pada indahnya hari itu ... pertemuan kita kala kuncup bunga sakura pertama bermekaran, apa mentari berteriak seperti itu? Sungguh aku tak menanti pertemuan kita. Kuharap kau cukup pengertian dan memberiku ruang untuk menderita. Aku benci penampakan indah kala tawa hangat bersahutan di sekitarmu. Rasanya hal itu lagi-lagi melambungkan asaku, bertanya kapan aku terakhir kali tertawa begitu, yah? Ah ... aku terlalu takut. Kali ini kukubur dia jauh-jauh dalam tumpukan salju. Karena itu ... bantulah aku, kusampaikan ini padamu jauh-jauh hari sebab hari itu aku benar-benar tak mau begitu. Aku takut, aku takut semua bayangan indahku akan dirimu sirna begitu saja sebab terlalu banyak hal kutangisi pada hari di mana kelopak bunga mulai menari. Hari itu menyedihkan.
Aku tidak menyalahkanmu, tapi sungguh kuharap letih ini segera sembuh. Kuharap dingin dapat membuatnya jadi beku, memori dan harapan dari indahnya musim semi ... terlalu terpatri sampai aku ingin dunia selamanya saja dipenuhi salju abadi. Hangatnya terkubur dalam dingin, di sini ... aku benar-benar berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mati. Sungguh, tulisan ini tidak berupa penghiburan semata. Wajarkah bila aku sedikit bahagia bisa menangis kala mentari tak tampak cahayanya sama sekali. Dinginnya musim dingin membuatku tidak gemetar saat menangis, saat ini pun detak jantungku tak sedikitpun berubah ... telapak tanganku memutih, pasi. Aku terisak lagi, lagi-lagi. Lagi. Seberapa kuatpun kata-kata pelampiasan ini tidak akan bisa membuatku berhenti memikirkan hari-hari sendiri. Aku sudah berapa bulan jadi gila begini? Ah, sejak musim semi lalu. Menyebut musim semi membuatku merasa semakin ingin mati.
Aku tidak bisa mengubah apapun! Musim dingin tidak bisa membekukan rasa sakitku, musim panas tak akan bisa melelehkan derita luka itu, musim gugur pun tak bisa runtuhkan sedihku yang semakin hari semakin bergelayut tak ada tanda untuk beringsut. Mereka semua menatapku dalam diam, bertanya kenapa aku menyalahlan semua hal? Aku melewati musim dengan hati setengah mati merutuk setitik apapun keindahan dunia, merasa dipecundangi. Lagi-lagi,lagi. Mereka menertawai.
Kutulis surat pada setiap musim agar mereka mau membantuku lupa, sesak rasanya membiarkan harapan musim dingin ini tergantung lagi dalam sudut kepalaku, benar. Aku hanya tidak rela, semuanya pergi di saat aku benar-benar berharap kita bisa bahagia! Seperti teguran keras saat aku melirihkannya "aku tidak pernah sebahagia ini!" Saat piknik musim semi, saat ada festival bunga sakura, dan banyak hal--- apa aku ditegur untuk tidak terlena? Apa harus dengan merebut semua orang yang kucinta? Benar, aku menentang takdir. Aku sangat menentang semuanya, semua kebahagiaan itu seakan bukan apa-apa karena hanya milikku seorang.
Seseorang tidak akan datang lagi padaku ... di musim semi yang indah. Keluargaku akan sangat hangat di pagi hari, letih di malam hari, tertawa di hari-hari mereka mengasihani masa mudaku yang terus dipenuhi hal-hal lucu tak berarti. Benar, harusnya saat ini pun masih begitu. Harusnya ....
Musim dingin dengan coklat hangat dan siaran sederhana ditambah kue buatan ibu benar-benar sempurna. Penghangat di bawah meja sana pun tak apa jika aku hanya dapat seperempatnya, maka dari itu kalian kembalilah! Aku sudah merenungkan kesalahanku di sepanjang musim ini ... aku akan jadi lebih dewasa, Ibu, Ayah, Kakak? Aku tidak akan membenci musim semi lagi.
Maka dari itu kumohon ... kembali.
Kembali ....
Apa surat ini tersampaikan? Musim semi ... apa mungkin kita bisa berbaikan?
***
A/N:
18-07-21
550 kata buat basa-basi yang indah, wkwk congrats rim.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Come Here
Poetry[bisikannya tak terdengar] *** Tentang ketidaksempurnaan. Aku dan egoisme. Aku dan menyerah. Aku dan suka duka. Aku dan semesta. Aku dan lelah. Aku dan rasa yang tak pernah terucap kata. Aku dan manusia. Aku dan pemilik semesta. Bagaimana dengan, ki...