imajinasi - short story

17 1 1
                                    

Hiruk pikuk jalanan kota di pagi hari memang sudah biasa, yang tidak biasa adalah wanita itu berangkat lebih terlambat dari pagi biasanya. Merutuk ia sambil melihat jam tiap sekian menit sekali, merutuk lagi. Ia memutuskan untuk tidak membawa mobil pribadinya, merasa itu akan lebih melelahkan. Namun, menaiki bus umum sama saja melelahkannya.

Wanita itu menghela napas, berusaha untuk tetap berdiri tenang di halte yang kian memadat. Sensasi kehidupan yang benar-benar sibuk itu sudah lama tak ia rasakan, biasanya ia hanya menggerutu dibalik mobilnya, kini dia berada diantara kerumunan itu. Terbesit pikiran bahwa bukan hanya dirinya sajalah yang sibuk di dunia ini– pemandangan itu membuatnya merenung.

Bukan hanya dia saja yang lelah dengan rutinitas, dengan kehidupan dan segala problematikanya.

Dia melihat sekeliling lagi, tiba-tiba orang di depannya mundur secara mendadak menyebabkan ia yang tengah melihat ke lain arah hampir terjatuh jika saja ia tak segera menyeimbangkan diri-- orang itu meminta maaf sekilas lalu sibuk lagi dengan ponselnya. Namun, meskipun ia tidak terjatuh, ia menabrak sesuatu di belakangnya.

Anak kecil dengan sebuah buku dongeng yang sepertinya terjatuh saat ia menabraknya. Buru-buru ia menungut buku itu dan memberikannya pada anak kecil itu, "Kau tidak apa-apa? Maaf." Anak kecil itu mengangguk dan menggeleng. Entahlah maksudnya apa, mereka berdua memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah.

Wanita itu memandang anak kecil itu lama- buku dongengnya- itu buku yang sama dengan yang pernah ia punya.

Apa isinya? Dia bertanya-tanya. Menyayangkan betapa ia merasa dongeng itu benar-benar menyenangkan, tapi ia tidak bisa membacanya sampai selesai karena Ibunya memintanya untuk fokus belajar saja,– buku itu berakhir disita di atas loteng.

Buku yang diberikan seseorang ... satu-satunya serpihan masa kecil tak jelas yang mengambang. Namun terasa cukup untuk membuatnya berharga. Ia kembali merenungkan masa kecilnya yang tak banyak hal bisa diingatnya.

Hanya hal yang tak ingin diingatnya sajalah yang menghiasi masa kecil itu. Betapa lingkungannya seakan hanya mengajarkannya menjadi orang dewasa paling hebat, betapa realita ini tak akan berubah berapa kalipun kau membaca dongeng dan kisah indah. Imajinasi yang sia-sia, terus dipatahkan dan membuat sesuatu dari dirinya di masa kecil membeku.

Terkubur dan tak pernah digali lagi. Hingga saat ini, dunianya hanya dipenuhi rutinitas orang dewasa sejati. Sebagaimana ia tumbuh dengan pemikiran melakukan banyak hal dan mencapai segudang prestasi, lalu- apalagi? Dia mulai merenungkannya, apakah ia pernah merasakannya? Hari demi hari penuh dengan imajinasi, menggambar banyak hal yang tak orang dewasa mengerti. Sulit rasanya memancing memori yang sudah terkubur lama itu. Kalaupun diungkit kembali- buat apa? Pikirnya.

Dunia yang diidam-idamkan orang dewasa terasa sangat monoton untuknya. Dirinya seakan hanya berjalan dari satu jalur ke jalur lain, tak pernah lagi dijumpai olehnya jembatan apalagi kelokan. Ia benar-benar sampai pada titik, 'usaha keras itu terasa hambar, apa yang sebenarnya kuinginkan? Apa yang hilang? Apa yang kurang?'

Bunyi klakson membawanya kembali, bus mulai merapat, mengisi bagian kosongnya. Wanita itu memejam lama, sudah berapa lama ia begitu? Memacu langkah dan kembali melihat jam tangannya, menghela napas. Ia harus mengabari sekretarisnya.

"Atur ulang jadwalku, aku akan sampai dalam ... dua puluh tujuh menit." belum sempat mendengar balasan dari sekretarisnya-- matanya terdistraksi oleh sebuah benda yang harusnya bukanlah apa-apa-- gantungan kunci yang tergantung pada tas punggung seorang pemuda mengalihkan perhatiannya. Ada perasaan seakan dirasuki oleh kerinduan dan juga ... kenangan. Bolehkah ia berharap? Sosok yang hilang di masa kecilnya bisa saja lelaki itu. Bisakah ia mendengar sebuah cerita tentang masa itu darinya?

Don't Come HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang