“Dek, Papa pergi, ya,” ujar Papa dan mencium keningku.
Aku mengangguk pelan dan tersenyum. “Hati-hati, Pa. Bawaan oleh-oleh,” balasku dan memperlihatkan deretan gigiku.
Papa tertawa seraya mengetuk kepalaku pelan dengan punggung tangannya. “Udah besar masih aja minta oleh-oleh,” ujarnya.
Aku tertawa dan memberikan koper padanya yang sedari tadi kuseret. Hari ini Papa akan pergi ke luar kota untuk melakukan pekerjaan dari kantornya selama satu minggu. Sedangkan Mama ada rapat di kantornya jadi tidak bisa mengantar Papa ke Bandara.
“Ya udah, Papa pergi, ya. Hati-hati pulangnya, dan juga...” ia menggantung kalimatnya. “Jangan ajak Deka ke rumah saat gak ada orang,” lanjutnya dan tertawa setelah itu.
Aku mengerucutkan bibirku. Via dan Oki tidak lagi membahas pemuda itu, tapi apa sekarang? Orang tuaku yang membahasnya tepat di depanku.
Papa melihat ekspresiku kemudian mengelus kepalaku pelan. “Deka anak yang baik, Dek. Jangan berantem lagi.”
“Ha? Siapa yang berantem?” tanyaku. Kenapa Papa bisa tahu?
“Kamu lagi marahan sama Deka, kan? Papa dan Mama tahu, kok,” balasnya.
Kali ini ucapan Papa berhasil membuat mataku melotot. “Kalian tahu dari siapa?” tanyaku.
Papa mengedikkan bahunya dengan tatapan jenakanya. “Ya, saat dia menunggumu malam-malam di depan rumah kita empat hari yang lalu, Papa rasa kami tahu gara-gara itu,” ujarnya yang membuatku mengerti, mungkin mereka melihatnya ketika mereka pulang dari makan malam.
“Eh, tapi kalian pulang larut malam kan? Memangnya dia masih...” Aku menggantung kalimatku.
Papa mengangguk. “Dia masih menunggumu,” balasnya kemudian mengetuk kepalaku dengan keras. “Siapa yang mengajarimu berbuat seperti itu, hah? Apa dia sudah menunggu selama satu jam?”
Aku mematung. Waktu itu Mama bilang kalau mereka pulang hampir jam sebelas malam, dan Deka berada di luar rumahku sejak pukul setengah sembilan. Tanpa sadar aku mengepalkan tanganku hingga merasakan kuku menusuk telapak tanganku.
Papa menyadari ekspresiku. “Lebih dari satu jam, ternyata.” Dia menyimpulkan. “Kamu membuatnya menunggu selama itu? dan kamu bahkan tidak turun untuk melihatnya? Bagaimana kamu bisa tidur nyenyak dengan dia yang masih menunggumu di bawah, Dek?”
“Aku tidak tahu, Pa. Aku tidak tahu kalau dia benar-benar menungguku,” balasku kesal. “Lagi pula ini salahnya, kenapa dia menunggu selama itu. Dasar bodoh.”
Papa tertawa. “Ya sudah, urusi masalah kalian. Papa harus berangkat,” ujarnya dan memelukku sekilas. “Itu pelukan untuk Mama, ya. Berikan padanya setelah kamu bertemu dengannya,” lanjutnya.
Aku membuka mulutku dan tertawa. “So cheesy, Pa,” balasku dan dibalasnya dengan cengiran kemudian dia berjalan meninggalkanku yang berada di luar.
~~~
Tepat ketika aku baru saja memarkirkan mobil di garasi dan hendak turun, mataku menangkap bayangan seseorang dari sudut mataku.
“Raraaaa,” panggil suara yang sudah sangat kukenal.
Aku menoleh dan mendapati Hani yang sedang melambaikan tangannya padaku dengan senyum lebarnya yang menghiasi wajah cantiknya. Aku terkekeh melihatnya yang melambai seperti anak kecil berumur tujuh tahun.
“Kenapa?” tanyaku dan berjalan ke arahnya. Aku mengajaknya untuk masuk dan kami duduk di meja makan, ya, aku lapar.
“Kamu jarang banget angkat telepon dariku,” ujarnya sembari tangannya mengambil apel. Dia tidak memakannya, hanya memainkannya dengan melambungkan dan menangkapnya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan, Basket & Piano
RomanceKatanya, menyatakan perasaan dan ditolak akan membuat perasaan itu terkubur dengan sendirinya Sayangnya, tidak berlaku, Untukku.