Deka menekuk lututnya dan sesekali kurasa ia memainkan jemari kakinya dari balik sepatu kets cokelatnya. Tadi ia sangat asik bercerita mengenai dia dan kakaknya yang sering diam-diam pergi ke sini tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Matanya memancarkan kerinduan akan hal itu. Dan tiba-tiba ia berhenti bicara.
“Ah, aku menjadi cerewet akhir-akhir ini,” lagi-lagi ia mengeluarkan gerakan yang sangat kusukai: menggaruk leher bagian belakangnya dengan canggung.
“Memangnya kamu selama ini pendiam? Kupikir kamu memang tipe yang cerewet,” aku menaikturunkan alisku. Ingin menggodanya, namun gagal.
Ia menjawabnya hanya dengan mengangkat kedua bahunya. Kami berdiam diri beberapa saat, menikmati pemandangan yang ada di depan kami. Menikmati angin sore yang berhembus lembut, menggoyang-goyangkan rumput, dan membuat rambutku sulit dikendalikan.
“Kamu serius belum pernah ke sini? Pacarmu gak pernah ngajak kamu ke sini emang, Ra?” tanyanya tiba-tiba. Ia menoleh ke arahku.
Aku tidak menjawabnya saat itu juga. Sengaja membiarkan ia menunggu sejenak, ingin membuatnya penasaran mungkin. Meskipun aku tahu kalau dia tidak begitu penasaran banget.
“Aku gak punya pacar,” balasku setelah hampir satu menit menahan jawaban tersebut. Reaksi yang ia tunjukkan cukup aneh, hingga membuatku mengerutkan dahi dan bertanya. “Kenapa? Kamu gak percaya?”
Ia mengangguk dengan mantap. “Enggak sama sekali. Gak percaya banget!” balasnya. “Kamu bilang kamu menyukai seseorang kan?”
“Aku bilang aku menyukai seseorang bukan aku punya pacar. Itu beda, Deka,” balasku terkekeh.
“Tapi masa cowok yang kamu suka nolak kamu sih? Kan gak mungkin, cewek cantik kayak gini masa ditolak,”
Aku tidak tahu ia berniat untuk menggodaku, mengejekku, atau berbicara dengan serius. Ekspresinya tidak bisa kutebak saat itu. “Oke stop, jangan nanyain aku mulu. Kamu gimana? Ada gebetan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Dia tampak menimbang-nimbang akan memberitahuku atau tidak. “Ya, punya,” jawabnya pada akhirnya.
Aku tidak membalas untuk beberapa saat. Ada sesuatu yang mengganggu di tenggorokkanku dan menghalangiku untuk mengatakan apa yang sedang ada di pikiranku saat ini.
“Kamu tidak ingin bertanya lagi?” ia melirikku. Matanya setengah menyipit, dan ia menyeringai.
Senyum mengembang di bibirku. “Aku sudah tahu,” balasku yang membuat alisnya terangkat dan terkejut, ya, ia tidak bisa menutupi keterkejutannya terlebih lagi setelah aku menyebutkan nama seorang gadis yang ia sukai. “Hani,” kataku saat itu.
Dia terdiam. Matanya mondar-mandir liar ke kanan dan ke kiri. Dan ia berkedip cukup sering, juga aku mendapati sebutir keringat menetes dari dahinya dan jatuh menyentuh rumput yang sedang ia duduki.
“Oh, kamu sepertinya sangat terkejut,” aku meledek. “Apa seharusnya aku berpura-pura tidak tahu saja, ya?”
Ia tertawa canggung. Bisa kurasakan kalau ia sedang berusaha menutupi wajahnya yang sedikit memerah karena rahasianya telah kuketahui dengan mudah, dan aku merasakan mual melihatnya malu seperti itu. Seperti ada yang menusuk perutku dengan benda tajam berkali-kali.
“Sebaiknya aku berhati-hati jika ada di dekatmu,” ia masih setengah tertawa.
Aku mengulum senyumku. Ia meremas kedua tangannya, seperti hendak bercerita atau semacamnya. Dan tebakanku benar, ia menceritakan kenapa ia menyukai Hani.
“Kita pasti sering mendengar kalimat ‘tidak akan benar-benar ada persahabatan di antara pria dan wanita’, benar?” ia mengulum senyumnya sama sepertiku. Masih tampak ragu akan menceritakan hal ini padaku atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan, Basket & Piano
RomanceKatanya, menyatakan perasaan dan ditolak akan membuat perasaan itu terkubur dengan sendirinya Sayangnya, tidak berlaku, Untukku.