[17]

21 3 18
                                    

Sinar matahari mengintip dari balik dedaunan. Menyaksikan dua orang insan yang sedang menatap mata satu sama lain. Angin berhembus pelan menggoyangkan rerumputan dengan berirama. Sekelilingku berdendang dan aku tidak mampu mendengarkan apa pun, hanya detak jantungku yang keras yang mampu kudengar saat ini.

    Pemuda itu masih menatapku dengan lembut. Aku mempelajari ekspresinya dan dia memperhatikan ekspresiku. Kemudian dia membuat langkah yang tak terduga, yaitu dia jongkok di depanku. Tangan kanannya menyentuh bangku di bagian kiriku, hampir menyentuh tanganku yang duduk manis di sana.

    Dia tersenyum dan mengacak rambutku dengan pelan.

    Oh, Rehan, jangan berbuat seperti ini.

    “Kamu memikirkan apa, bodoh?” tanyanya dan menarik hidungku.

    Apa dia serius bertanya seperti itu? Memangnya apa lagi yang harus kupikirkan jika seorang pemuda menyatakan perasaannya padaku?

    “Aku bercanda, Ra,” dia tertawa dengan keras. “Oh Tuhan, lihatlah wajahmu! Apa aku harus memfotonya?” tanyanya seraya memegangi perutnya. Dia tidak bisa berhenti tertawa.

    Aku masih berdiam diri di sana, menatap pemuda bodoh yang tertawa dengan keras di depanku. Dia bahkan tidak bisa menahan berat tubuhnya lagi dan berbaring di rerumputan dengan kedua tangannya masih ada di atas perutnya.

    Aku berdiri dan melepaskan tasku. Aku melemparkannya ke atas perut pemuda itu hingga dia merintih kesakitan.

    “Jangan bodoh, Rehan!” jeritku kesal. “Kamu pikir lucu? Ha?”

    Dia terdiam. Matanya memandangku cemas. Kurasa dia tidak menyangka kalau reaksiku akan begini. Aku kesal dengannya! Bukan berarti aku berharap dia menyukaiku sungguhan, tapi aku tadi nyaris berpikir kalau ini akan jadi perpisahan kedua kami dan aku jelas tidak menginginkannya.

    “Oh, maafkan aku, Ra. Aku tadi hanya latihan,” ujarnya. Dia meraih tanganku, “aku menyukai seseorang dari jurusan kami dan tadi aku berlatih untuk menembaknya,” lanjutnya.

    “Demi Tuhan, Rehan, aku akan membunuhumu jika saja kamu bukan temanku. Dasar sialan!” aku mengacak rambutnya dengan kesal kemudian mengacak rambutku juga. “Aku hampir berpikir kalau itu sungguhan dan aku tidak akan bisa jika kamu menjauhiku lagi,” ujarku.

    Tatapannya melunak. Dia menarik tanganku dan menyuruhku untuk duduk di rumput sama sepertinya. Kedua tangannya meraih pundakku, dia menatap mataku dengan lembut. Untuk sekian detik, aku merasa tenggelam dalam tatapan milik temanku sendiri.

    “Aku tidak akan menjauhimu. Kita sudah berbaikan dan aku tidak ingin merusaknya lagi,” ujarnya seraya tersenyum. “Lagi pula, aku serius kalau aku sedang menyukai seseorang. Aku akan menyatakan perasaanku padanya hari ini,” lanjutnya dan menaik-turunkan kedua alisnya.

    Aku tidak bisa menahan dorongan untuk tersenyum. Tanganku menampar pipinya dengan pelan dan dia memelototiku. Aku berdiri dan menariknya berdiri, tanganku membersihkan baju pemuda itu. Aku memukul dadanya sekali.

    “Jangan lupa pajak jadian, ya,” ujarku tersenyum dan berjalan ke arah motornya.

    “Ra,” panggilnya.

    Aku menoleh.

    “Kamu juga harus menyatakannya pada Deka.”

    Sekali lagi, kurasakan rona di wajahku menghilang. Aku mematung untuk beberapa saat. Jantungku melonjak kaget dengan pernyataan Rehan barusan. Dia tahu? siapa yang memberitahunya?

    Pemuda itu berjalan mendekatiku dan menepuk kepalaku pelan. “Apa kamu berpikir Oki atau Via yang memberitahuku?” dia terkekeh. “Tidak Ra, mereka tidak memberitahuku. Kamu yang memberitahuku,” dia tersenyum.

Tulisan, Basket & PianoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang