“Jangan menghindar,” pemuda itu mendekat, “kubilang aku menyukaimu. Jangan menghindariku lagi, kumohon.”
Gadis itu terdiam di tempatnya berdiri. Ia tidak berani membalikkan badannya untuk melihat tatapan serius dari pemuda itu. Pemuda itu mendekat dan menyentuh pundaknya lembut, ia menyuruh si gadis melihat dirinya.
Sekali lagi, pemuda itu mengatakannya. “Aku menyukaimu.”
Gadis itu menunduk. “Ku-Kubilang, aku menyukai orang lain,” jawabnya tergagap.
“Jangan membohongiku. Tatap mataku dan katakan,” tanpa sadar pemuda itu memegang pundak si gadis terlalu keras.
“Aduh, sakit, Ga. Astaga,” ia melepaskan tangan Yoga dari pundaknya dan menatap sangar ke arahnya.
“CUT!” suara Kak Iman memenuhi ruangan dan diiringi keluhan pelan dari kami semua.
Yoga tertawa. “Aduh, maaf. Aku terlalu bersemangat,” ujarnya yang membuat Sinta merengut kesal.
“Bagaimana menurutmu, Ra?” Kak Iman berbalik dan melihat ke arahku, seluruh pemain juga memperhatikanku, termasuk Deka yang sedari tadi memetik gitar untuk bagian-bagian yang penting dan emosional, di sampingnya ada dua orang pemuda yang memegang gitar dan gendang.
“Lebih bagus dari kemarin,” balasku. “Tapi kalau bisa, emosi Sinta lebih dikeluarin ya, kayak malu, bingung, dan senang yang bercampur. Bisa? Nanti kita coba lagi, kalian istirahat saja dulu,” lanjutku dan memberikan tepuk tangan untuk mereka semua.
Waktu pementasan tinggal seminggu lagi dan semua persiapan hampir selesai. Mereka semua bekerja dengan keras untuk pementasan kampus ini karena pada tahun-tahun sebelumnya selalu ada banyak penonton dari dalam maupun luar kampus dan respon penonton sangat baik, makanya mereka harus bisa meningkatkan itu. Dan aku yang paling takut saat ini, takut kalau drama ini membosankan.
Aku berjalan menghampiri Kak Iman dan Kak Adit yang sedang bicara, mereka mengatakan padaku kalau dua hari sebelum pementasan mereka akan melakukan gladi resik dan mereka juga mengatakan hal-hal yang tidak kumengerti terkait peralatan audio.
Di sisi lain, aku mendapati anak-anak drama sedang makan siang bersama. Kudengar Sinta dan Yoga mengatakan dialog-dialog mereka sembari makan yang membuat ekspresi keduanya menjadi lucu alih-alih serius.
Aku mengedarkan pandanganku. Semuanya bersenang-senang. Mereka tertawa dengan lawakan yang temannya buat dan sesekali melempari temannya dengan peralatan yang tidak berbahaya.
Seseorang menepuk pundak kananku. Aku menoleh untuk melihat namun tidak ada siapa-siapa.
“Aku di sini,” ujarnya.
Aku menoleh ke sisi kiri dan mendapati Rehan tersenyum padaku.
Ya, sejak kejadian tiga minggu yang lalu ketika dia menyapaku kembali. Kurasa, kami mulai berteman lagi. Dia menghubungiku lagi dan sesekali mampir ke gedung teater untuk melihat persiapan kami dan mungkin melihatku. Katanya dia tim penanggung jawab dari BEM untuk acara pementasan ini, aku tidak percaya, jujur saja.
“Melakukan pengecekan lagi?” tanyaku.
Dia mengangguk. “Tapi bukan pengecekan untuk pementasan, melainkan aku harus mengecekmu,” dia menyenggol bahuku dengan lengannya, senyum nakalnya kembali.
Aku mendesah pelan dan dia tertawa. Kami berbicara sembari berkeliling gedung dan sesekali berhenti di tempat teman-teman yang sedang berkumpul. Rehan mengeluarkan lelucon garing miliknya, aku terpaksa harus tertawa karena kasian melihat dirinya yang sudah berusaha keras namun tidak ada yang tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan, Basket & Piano
RomanceKatanya, menyatakan perasaan dan ditolak akan membuat perasaan itu terkubur dengan sendirinya Sayangnya, tidak berlaku, Untukku.