“Kenapa kamu begitu menyukaiku?”
Aku merasakan seluruh sendiku menjadi kaku. Sesuatu dalam perutku meledak-ledak. Dan tiba-tiba aku merasa malam menjadi begitu dingin dan panjang. Tidak ada yang bersuara selama beberapa saat, aku hanya mampu mendengar napasnya yang sudah mulai beraturan.
Pertanyaan yang juga sering mengisi otakku selama ini akhirnya pemuda itu mengatakannya juga, tapi aku tidak tahu jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini. Apa aku menyukainya karena dia tampan? Atau karena caranya bicara? Atau ketika dia tersenyum? atau karena dia hanya seorang Radeka Arkaan? Aku juga tidak tahu.
Dia kembali meremas tanganku dan mengelusnya beberapa kali yang memberikan sengatan listrik di sekujur tubuhku. Luar biasa bagaimana caranya yang membuatku kewalahan mengatur detakan jantungku sendiri. Organ-organ tubuhku menggila.
“Ra,” panggilnya lagi.
“Hm?”
“Terima kasih,” ujarnya.
Aku diam.
“Ra,” panggilnya sekali lagi.
Aku tidak menjawab.
“Dan maaf,” lanjutnya.
Kami berdua masih berada dalam posisi yang sama. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku, tangan kami bertautan, dan napas kami sama-sama terasa berat di telinga satu sama lain.
“Untuk apa?” tanyaku.
Dia menarik napas panjang. “Terima kasih untuk semuanya dan maaf untuk semuanya,” ujarnya.
“Kamu menolakku sekali lagi?”
Dia terdiam. Kami kembali diam seribu bahasa. Sebuah kalimat terus menerus muncul di otakku dan ingin aku menyampaikannya pada pemuda ini. Aku tidak tahan lagi, dia membuatku kehilangan akal.
“Kamu egois, kamu tahu itu kan?” ujarku.
Dia mendongak. Kepalanya sudah tidak bersandar di bahuku dan dia memberikan tatapan herannya padaku dengan kerutan di dahi yang hampir menyatukan kedua alis tebal itu. Salah satu hal yang aku sukai darinya.
“Kamu tahu aku menyukaimu dan apa yang kamu lakukan? Ingin menjadi sahabatku?” tanyaku. “Deka, aku menyatakan perasaanku dengan niat untuk menguburnya tapi ternyata tidak bisa, menyatakan perasaanku padamu malah membuatku semakin menggalinya lebih dalam lagi. Dan sungguh, kamu tidak membantu sama sekali.”
Aku berhenti sejenak. Menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Ada begitu banyak hal yang ingin kusampaikan pada pemuda ini meskipun ini bukan waktu yang tepat karena dia sedang ada masalah, tapi aku tidak bisa menahannya lagi. Ini juga menyangkut tentang kewarasanku.
“Kamu sendiri yang bilang, tidak akan ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Pada posisi ini, kamu jelas tahu aku menyukaimu. Jadi, kenapa kamu melakukan ini semua? Kadang aku berpikir kalau kamu mulai menyukaiku, tapi ternyata hanya khayalanku saja,” aku menatapnya dengan lekat.
“Kupikir aku harus mengatakan ini. Ini demi kebaikan kita berdua dan yang paling penting, ini demi perasaanku,” aku menggantung kalimatku sebentar, dan, “mari kita akhiri saja pertemanan ini.”
“Tidak, Ra,” balasnya cepat.
“Lalu apa? kamu ingin aku tetap bertahan di sampingmu dan bertahan dengan perasaanku meskipun kamu tidak bisa membalasnya? Deka, ini keterlaluan, kamu juga harus tahu batas untuk mempermainkan perasaan orang lain.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan, Basket & Piano
RomanceKatanya, menyatakan perasaan dan ditolak akan membuat perasaan itu terkubur dengan sendirinya Sayangnya, tidak berlaku, Untukku.