Dia membawaku ke rumah sakit.
"Deka," panggilku dengan cemas namun pemuda itu tidak menoleh sama sekali.
Dia berjalan cepat meninggalkanku yang masih berada di belakangnya. Kalau dua puluh menit yang lalu dia tidak ingin meninggalkanku, maka sekarang dia benar-benar harus meninggalkanku dan itu membuatku semakin cemas.
Sebenarnya aku ingin sekali memarahinya ketika dia membawa motor dengan kecepatan di atas rata-rata, tapi kupikir ini saat yang sangat mendesak untuknya dan aku membiarkan dirinya membawa motor dengan kecepatan yang tinggi. Aku pasrah, seakan hidupku berada di tangannya saat itu.
Pemuda itu sudah semakin jauh dari pandanganku. Aku memperhatikannya dan dia sedikit pun tidak memperlambat kecepatan berjalannya sehingga aku harus berlari agar bisa menyusulnya.
Ketika aku berbelok mengikuti Deka yang tadi juga berbelok ke arah sini, aku kehilangan dia. Dia tidak ada lagi di koridor. Aku menghela napas berat, kenapa aku tidak berlari lebih kencang tadi? Keluhku.
Tepat ketika aku hendak berbalik dan akan menunggu di luar saja. Aku mendengar suara Deka yang sedikit berteriak. Langkahku terhenti dan tanpa kusadari aku mengepalkan tanganku dengan kuat hingga merasakan kuku menusuk telapak tanganku. Aku menoleh ke sumber suara yang tidak jauh dari tempatku berdiri. Ruangan itu sedikit terbuka makanya aku bisa mendengarnya dengan sedikit jelas kalau itu suara pemuda yang sedang kucari.
Kakiku melangkah ke sana dan mengintip dari celah yang sedikit terbuka. Aku melihat tiga orang lelaki yang sedang berdiri saling berhadapan. Satunya Deka, satunya lagi yang memakai baju kaos putih dengan gambar tangan di bagian perutnya, dan yang satunya lagi orang yang paling tua di antara mereka bertiga.
"Ini pasti karenamu," geram Deka.
Aku tidak tahu dia sedang bicara pada yang lebih dua darinya atau yang paling tua di antara mereka bertiga.
"Siapa itu?"
Aku terlonjak kaget ketika lelaki berbaju putih melihat ke arahku. Deka dan lelaki yang satunya menoleh.
"Dia temanku," ujar Deka, kemudian tidak menganggapku ada lagi.
"Jawab pertanyaanku. Kenapa Kak Ika bisa seperti ini? Apalagi yang Ayah lakukan?"
Aku mematung. Otakku berpacu. Ini jelas masalah yang sudah mengganggunya selama beberapa bulan ini. Aku hendak berbalik dan pergi tapi lelaki yang berkaos putih itu menghampiriku dan tersenyum ke arahku. Dia menyuruhku untuk masuk. Saat itu aku baru bisa melihat seorang perempuan yang sedang tidak sadarkan diri di ranjang pasien.
"Boleh aku minta tolong sesuatu?" tanya lelaki itu.
Aku menoleh dan tidak bereaksi.
"Bisa tolong jaga Kakaknya Deka sebentar? Kami harus menyelesaikan sesuatu," ujarnya lembut. Dia punya senyum yang mempesona.
Aku mengangguk kaku. Dia menepuk pundakku pelan dan segera berjalan ke arah Deka dan Ayahnya.
"Jangan di sini, kita keluar saja," ujar lelaki itu. "Kakakmu akan terbangun," lanjutnya.
Deka mengangguk. "Ayah ikut aku," ujarnya ketus.
Hatiku mencelus melihat Deka seperti itu pada Ayahnya sendiri. Aku memang tidak tahu apa masalahnya, tapi bisakah dia lebih lembut pada Ayahnya sendiri?
Mereka bertiga keluar dari ruangan. Kupikir mereka akan berbicara di luar gedung, ternyata mereka memilih untuk bicara di luar ruangan, berarti mereka berbicara di depan ruangan ini sekarang.
"Kenapa lagi, Yah? Tidak bisakah Ayah berhenti mengganggu Kak Ika?"
"Ayah tidak mengganggunya," balas Ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan, Basket & Piano
RomanceKatanya, menyatakan perasaan dan ditolak akan membuat perasaan itu terkubur dengan sendirinya Sayangnya, tidak berlaku, Untukku.