Cuaca begitu terik hari ini hingga membuat semua makhluk hidup di kampus menyingkir dari jalan dan memilih untuk berteduh. Berbeda sekali denganku yang berjalan dengan cepat menuju parkiran karena jika tidak aku akan terlambat dalam rapat hari ini.
Ponselku terus berdering. Kak Adit dan Kak Mina terus-terusan meneleponku. Mereka bergantian. Seolah-olah mereka mencoba keberuntungan mengenai telepon siapa yang akan aku jawab.
"Iya, lima menit lagi sampai, kok. Jangan terus-terusan meneleponku, aku harus menyetir," aku memutuskan untuk mengangkat telepon tanpa tahu telepon dari siapa yang kuangkat.
"Oke, hati-hati," balas Kak Mina. Setelah itu ia menutup panggilannya.
Aku meletakkan tas dan berkasku di kursi samping. Pilihan yang tepat karena hari ini aku membawa mobil, mengingat cuaca di luar begitu terik dan menyengat. Aku menstarter mobil dan segera melajukannya dengan kecepatan yang sedang. Tujuanku adalah Sekret Seni. Ini adalah rapat penting.
"Jangan mengacaukannya," aku bicara pada diri sendiri.
Tidak membutuhkan waktu lima menit untuk sampai ke tujuan. Aku menepuk-nepuk pipiku pelan dan menatap wajahku di kaca mobil. Aku memakai baju setengah lengan berwarna toska dan celana jin hitam. Rambutku yang sebahu kubiarkan terurai, jepit kecil berwarna selaras dengan bajuku menghiasi rambut hitamku. Tanganku mengambil bedak dan menyemprotkan parfum ke tubuhku. Berusaha untuk berpenampilan sebaik mungkin karena ini adalah presentasi pertamaku pada acara ini.
"Sudah siap?" tanya Kak Adit ketika aku memasuki ruang rapat. Ternyata hanya aku yang belum datang. Dua ketua dari dua klub sudah duduk di tempatnya masing-masing.
Wah, kamu sudah seperti orang penting saja, Ra.
Selagi menyiapkan bahan untuk presentasiku. Aku melihat ada satu kursi yang masih kosong. Aku menghela napas lega, sangat menyenangkan karena bukan hanya aku yang telat. Ketika semuanya sudah siap, Kak Adit berserta Kak Mina dan yang lainnya mengacungkan jempol dan memberikan semangat padaku.
Tidak begitu banyak orang yang diundang pada rapat ini. Hanya orang-orang yang memiliki peran yang cukup penting untuk hadir di sini, mungkin sekitar tiga puluh pasang mata yang sedang menatapku sekarang. Aku baru saja hendak memulai ketika suara pintu terbuka mengalihkan perhatian kami semua.
Aku kenal pemuda ini. Jantungku kembali berpacu seperti kemarin sore.
"Maaf terlambat," ujarnya dengan napas yang tidak beraturan. Wajahnya dipenuhi keringat, atau mungkin ia baru saja mencuci wajahnya.
Yang lainnya mempersilakan ia masuk. Dia mengangguk pelan dan melihatku yang sedang berdiri menatapnya. Ia tampak terkejut dan bingung untuk beberapa saat, tapi akhirnya ia memilih untuk tersenyum. Aku membalas dengan anggukan kecil.
"Deka, sini," seorang pemuda berambut pendek-hampir botak-menggerakkan tangannya. "Ini temanku yang pandai dalam mengaransemen musik. Akan sangat cocok jika dia mengaransemen untuk drama ini," ujarnya memperkenalkan Deka dengan yang lainnya. "Dia baru bergabung dengan klub seni satu minggu yang lalu, tapi aku sudah tahu kalau dia sangat pandai makanya aku mengajaknya. Tidak keberatan, kan, Man?" pemuda itu bertanya pada Kak Iman, selaku ketua Klub Seni.
Kak Iman mengangguk dan mempersilakan Deka duduk.
Aku menelan ludahku dengan kasar. Meremas tanganku lebih sering lagi. Kejadian kemarin berkelebat dalam otakku. Melayang-layang menghantuiku sepanjang malam. Aku tidak menyesal karena menyatakan perasaanku, namun aku tidak menyangka kalau kami berdua akan secanggung ini. Terlebih lagi aku tidak menyangka kalau aku akan menangis. Di depannya.
Aku bisa melihat dari ekspresi wajahnya kalau ia panik ketika melihat air mataku terjatuh, namun aku berdalih kalau ada debu yang memasuki mataku saat itu. Memangnya Deka anak kecil yang bisa kubohongi semudah itu? ia tentu saja tidak akan percaya, namun ia memilih untuk pura-pura percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan, Basket & Piano
RomanceKatanya, menyatakan perasaan dan ditolak akan membuat perasaan itu terkubur dengan sendirinya Sayangnya, tidak berlaku, Untukku.