Aku merebahkan tubuh di atas kasur empuk dengan bed cover berwarna krem lembut. Tanganku menarik selimut dan menutupi wajahku dari nuansa kamar yang didominasi dengan warna putih. Kakiku menendang-nendang angin di dalam selimut dengan gusar.
Hatiku berkecamuk.
Hani benar. Tidak akan mudah untuk melupakannya. Aku jadi menyesal kenapa melakukan pengakuan pada Deka. Ah, dasar bodoh.
Aku membuka selimutku dan berseru. "Lagipula, kenapa Hani minta maaf padaku? Dia membuatku terlihat tampak menyedihkan," aku mengerang frustrasi. "Dia tidak melakukan apa-apa, kenapa harus minta maaf?" ujarku pelan.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan sekali di pintu dan sesaat setelahnya pintu langsung terbuka. Kak Risya berdiri di sana. "Kamu kenapa, Dek?" tanyanya seraya berjalan menghampiriku.
Aku membalas. "Tidak usah ketuk pintu lagi kalau begitu."
"Sejak kapan kamu mempermasalahkan ini?" ujarnya.
"Sejak hari ini," balasku kesal. Kekesalanku sekarang kutuangkan pada kakak satu-satunya.
Dahinya berkerut. Ia mempelajari ekspresi wajahku yang sengaja kubuat semerana mungkin agar ia khawatir atau langsung segera menjauh karena ketakutan tapi ternyata bukan kedua-duanya, ia tampak tidak terlalu khawatir dan juga tidak ketakutan sama sekali. Sekarang ia lebih menunjukkan ekspresi jijik kepadaku. Ah, kakak ini tidak membantu sama sekali.
"Turun. Makan," suruhnya.
Aku menggeleng. "Aku sudah makan tadi."
"Ya makan lagi, apa susahnya. Turun," suruhnya sekali lagi dan setelah itu ia langsung pergi dari kamarku.
Aku menghela napas panjang dan dalam. Dia hanya ingin menyuruhku turun dan bergabung dengan yang lainnya, aku tahu karena kami jarang mendapatkan momen bersama seperti ini.
Tanganku meraih ponsel dan memutar musik dengan kencang. Lagi-lagi lagu Kokobop dari EXO yang menemaniku hari ini. Setelah menyetel musik, aku segera berdiri dari tidurku dan pergi ke kamar mandi untuk melihat wajah yang stress dan menyedihkan di kaca, kemudian membasuhnya dengan air yang dingin agar wajah itu tidak lemas lagi.
Setelah itu aku memilih untuk menghabiskan hariku bersama Ziva. Aku ingin sekali kembali ke masa kecil, di mana hanya ada permasalahan permen dan mainan saja. Bukan tentang perasaan yang berkelut di relung hati yang semakin hari semakin membuat sesak sang pemilik.
"Tadi siang Mama ketemu Oki, Mama denger naskah kamu terpilih tahun ini. Kenapa gak ngasih tahu kami?" Mama duduk di samping Papa yang sedang menunggu jawabanku.
"Lupa Ma, maaf. Karena terlalu banyak hal yang terjadi dalam minggu ini, jadi aku lupa memberitahu kalian," balasku sekenanya.
Mama bergeser dari duduknya dan menepuk sofa kosong yang ada di antara dia dan Papa. Aku beranjak dan duduk di sana. Dia merangkulku dan mencium pipiku seraya membisikkan kata-kata yang selalu ingin didengar oleh anak dari orang tuanya. Aku tersenyum simpul.
"Ma, hari ini dia mengerang frustrasi di kamarnya. Wajahnya juga sangat menyedihkan tadi. Mama tahu dia kenapa?" tanya Kak Risya yang sedang menyuapi Ziva dengan bubur yang aromanya menusuk-nusuk hidungku.
Aku memberi tatapan tak senang pada Kak Risya dan dia hanya mengangkat bahu dengan acuh. "Tidak terjadi apa-apa, jangan khawatir," aku langsung memberikan pernyataan.
"Masalah cowok, kah?" Kak Andre bergabung dengan kami setelah menyelesaikan beberapa pekerjaannya di kamar. Dan ia langsung pada poinnya, benar-benar seorang lelaki. Huh.
Semua mata tertuju padaku, kecuali mata Ziva yang sedang memainkan boneka dinosaurus kecil. Ia mengusapkan bibirnya ke boneka itu dan membuat dinosaurus kecil sangat kotor. Aku menghampiri Ziva dan mengusap bibirnya dengan tisu yang masih kupegang sejak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan, Basket & Piano
RomanceKatanya, menyatakan perasaan dan ditolak akan membuat perasaan itu terkubur dengan sendirinya Sayangnya, tidak berlaku, Untukku.