"Sayaangg,"
"Apa, Ma?" balasku berteriak dari dalam kamar.
"Ada Hani, turun sini,"
Aku duduk dari tidurku dengan malas dan merapikan rambutku dengan tanganku. Ketika aku membuka pintu, gadis itu sudah berdiri di depan pintu dan tersenyum seraya mengedipkan matanya padaku.
"Sori mengganggu sore harimu yang malas, Ra," ujarnya sedikit menyindirku dan aku memutar mataku seraya mempersilakan dia masuk.
"Ya, seperti yang kamu tahu, aku mengalami minggu yang sibuk," balasku dan duduk di sampingnya, di kasur.
Ini udah ke sekian kalinya Hani ke rumah dan orang rumahku sudah mengenalnya cukup baik, lagi pula rumah kami berada dalam satu kompleks.
Hani menyenggolku dan tersenyum genit. "Ra, pakai baju bagus. Kita ke lapangan basket sekarang," ujarnya.
Aku membuka mulut hendak mengatakan sesuatu tapi segera dipotongnya.
"Deka main hari ini, lawan kompleks sebelah," lanjutnya.
Aku merasakan sengatan semangat dalam darahku tapi segera hilang karena nada bicaranya Hani yang membuatku risih. "Terus kenapa?" jawabku sedatar mungkin.
"Ya kupikir kamu ingin melihatnya main,"
"Kenapa kamu berpikir begitu?" balasku.
Dia mengernyitkan dahinya padaku. Matanya mempelajari ekspresiku, dia terkekeh. "Ra, aku tahu kamu masih menyukainya. Jangan bertingkah seperti kamu telah melupakannya sepenuhnya."
"Sial, Hani," aku mengeram. "Kamu mengungkitnya lagi. Aku jelas membencimu," aku berdiri dan mengambil handuk kecil untuk membasuh wajahku.
Aku melihat dari sudut mataku sebelum masuk ke kamar mandi dan dia tersenyum karena tindakan dan ucapanku jelas tidak sejalan. Sial, meskipun aku ingin menolaknya, tapi aku juga penasaran dengan permainan basket Deka karena aku belum pernah melihatnya bermain.
"Dandan yang cantik," ia meninggikan suaranya agar bisa kudengar di dalam kamar mandi.
"Aku tidak berdandan, oke? Aku hanya membasuh wajahku," balasku dan aku mendengar ia terkekeh.
Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untukku membasuh wajah dan mengganti pakaianku. Hani menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kubaca, atau mungkin kurasa ia sedikit heran padaku karena dia menyipitkan matanya.
"Ra, serius? Kubilang pakai baju yang bagus," Hani melihatku dari ujung rambutku sampai ujung kakiku, kemudian kembali ke mataku. "Kamu memakai kaos dan celana training? Oh astaga gadis satu ini," ia menggelengkan kepalanya dengan heran.
"Apa yang kamu harapkan, Han? Kita hanya akan menonton dia dan itu tidak jauh dari rumahku, kita hanya perlu berjalan kaki," ujarku. "Apa kamu berharap aku memakai dress selutut berwarna krem dengan liontin di leherku serta aku menata rambutku dengan sangat bagus? Apa itu?"
Dia tertawa seraya bertepuk tangan. "Aku sangat menyukaimu, Ra," dia berbicara di sela-sela tawanya. "Kamu tahu, kebanyakan gadis akan berdandan demi melihat gebetannya, sedangkan kamu?" ia terkekeh.
Aku berjalan mendekatinya dan mengambil ponselku di atas kasur. "Mereka berdandan karena belum ditolak, dan aku sudah, jadi tidak ada gunanya," balasku dan segera keluar dari kamar.
Dia sedang mendribble bola, dan jantungku berpacu. Sialan.
Aku baru saja sampai dan duduk di rumput dekat pohon yang aku tidak tahu pohon apa, Hani duduk tepat di sampingku saat dia mendribble bola dan segera memasukkannya ke ring basket. Semua orang bersorak, dan aku terpaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan, Basket & Piano
RomanceKatanya, menyatakan perasaan dan ditolak akan membuat perasaan itu terkubur dengan sendirinya Sayangnya, tidak berlaku, Untukku.