[10]

31 5 16
                                    

"Ah, apa yang aku katakan? Lupakan, lupakan. Anggap aku tidak mengatakan apa-apa," ia gelisah. Matanya bergerak ke sana dan ke sini. Jelas sekali dari ekspresi di wajahnya kalau ia menyesali apa yang telah ia ucapkan barusan.

Aku mengerti kenapa dia gelisah. Dia meminta bantuanku untuk mengubur perasaannya terhadap Hani, tapi ia lupa mengenai perasaanku. Makanya ia gelagapan sekarang.

Tanganku bergerak sesuai perintahku. Ia menjulur ke depan dan menjentik dahi pemuda yang ada di depanku. Deka terkejut alih-alih kesakitan.

"Apa yang barusan kamu lakukan?" tanyanya, dahinya berkerut.

"Menghiburmu, kurasa," aku mengangkat bahuku dengan acuh dan tersenyum simpul. Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa aku memikirkan hal semacam 'menjentik dirinya'. Aku tidak tahu darimana pikiran itu muncul.

Tiba-tiba dia tertawa. Iya, dia tertawa karena ulahku, mungkin?

Jika kalian bertanya apa yang paling aku sukai selain bakso dan es krim, maka jawabannya adalah tawa orang yang kusayangi. Tepat di depanku, seorang pemuda yang baru kukenal tertawa dengan lepas. Aku tidak mengatakan kalau aku sudah menyayanginya, namun aku bahagia ketika dia tertawa. Rasanya perasaan khawatirku hilang dalam sekejap dan digantikan dengan suara tawanya yang begitu adiktif. Aku menginginkan suara ini setiap hari.

Lamunanku terhenti karena seseorang menepuk-nepuk kakiku. Deka memandangku dengan heran dan khawatir. "Ponselmu berdering terus," ujarnya.

Benar sekali, ponselku berdering dan aku tidak mendengarnya. Aku mungkin sudah kehilangan akal karena terlalu banyak pikiran. Tanganku meraih ponsel yang ada di saku celana, tertulis nama Kak Mina di sana.

"Halo?" sapaku.

Ia mengingatkan kalau hari ini aku harus hadir untuk melihat latihan dari anak-anak Seni, juga aku harus menilai musik dan peralatan yang harus ada di panggung atau baju pemerannya. Ya, ini karena aku si penulis naskah jadi mereka membutuhkanku sekarang. Aku segera menutup telepon setelah Kak Mina mengingatkanku dengan nada yang mengancam.

"Seniormu?" tanyanya.

Aku mengangguk dan memasukkan kembali ponselku ke dalam saku. "Kamu sudah menyiapkan backsoundnya?" tanyaku.

"Ah, ya, maaf. Aku belum selesai, beri aku sedikit waktu lagi ya?"

"Santai, pementasannya masih lama. Kamu masih punya cukup waktu."

Dia tersenyum dan menepuk pahanya, kemudian berdiri seperti orang yang sudah lanjut usia. Mulutku tidak bisa menghindari tarikan dari kedua sisi yang ingin membentuk senyuman.

Ia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri, meskipun kurasa ia tahu kalau aku tidak membutuhkan bantuan itu sama sekali. "Kenapa? Apa aku selucu itu?" ia mengerutkan dahi.

Aku menerima uluran tangannya. "Tidak sama sekali," balasku namun masih tersenyum.

Jam makan siang tiba.

Pernah mendengar kalau mendapatkan kursi saat jam makan siang itu sama berharganya dengan dapat tiket konser dari artis terkenal? Aku pernah mendengarnya-atau membacanya-dan aku cukup setuju, karena semua kursi sudah ditempati dan kami bertiga-aku, Oki, dan Via-tidak tahu harus duduk di mana.

"Oki,"

Kami bertiga dengan serempak menoleh ke sumber suara. Dito melambaikan tangannya ke arah kami kemudian menyuruh kami mendekat karena ada dua kursi kosong di dekatnya. Dia sedang makan bersama Deka dan Yadi.

Kami mendekat dan aku segera berujar. "Kursinya cuman dua, Dit. Salah satu dari kami duduk di mana?"

Mulut Dito penuh dengan nasi jadi ia menjawab menggunakan telunjuknya alih-alih mulutnya. Aku mengikuti arah telunjuk Dito dan berhenti di samping Deka. Deka melihatku dan aku juga melihatnya, kemudian dia bergeser sedikit.

Tulisan, Basket & PianoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang