[19]

14 3 19
                                    

Dua hal yang sering membuatku lupa waktu, yaitu membaca dan bersamanya.

Sekarang, aku membaca novel bersamanya. Tidak ada yang menandingi kesenangan ini selama beberapa bulan terakhir ini. Aku sungguh sudah jatuh sejatuh-jatuhnya. Tidak ada alasan lagi untuk bangkit dari jatuhnya diriku. Kalau bisa, aku bahkan siap untuk berbaring dan tidak bangkit lagi.

Ketika sedang menyukai seseorang, pikiran yang tidak masuk akal itu semuanya terasa begitu masuk akal dan pikiran yang berlebihan itu terasa sangat sederhana. Sebagian orang akan menganggap ini berlebihan, tapi kurasa mereka akan memahaminya ketika menyukai seseorang.

"Bentar lagi maghrib nih, Ra," ujarnya. "Ke musholah dulu ya abis itu kita makan, dan kita ke taman kemarin, mau? Pemandangannya saat malam jauh lebih indah lho," tawarnya.

Aku berpikir sejenak. Jujur, ini kali pertama aku jalan sampai malam dengan cowok, maksudnya berduaan saja. Kalau beramai-ramai aku cukup sering, jadi Papa dan Mama tidak akan masalah, namun ini berbeda.

Seakan mengerti kekhawatiranku, Deka bergerak mendekat ke arahku dan wajahnya semakin dekat sembari tangannya terulur untuk mengambil ponselku yang ada di samping kananku. Aroma parfumnya menyeruak masuk ke hidungku dan memberikan sensasi yang begitu menyegarkan sekaligus menenangkan.

Kemudian dia kembali ke posisinya semula seraya memegang ponselku sedangkan aku masih terdiam di tempatku dan masih meraba-raba aroma parfum yang baru saja membuatku hampir kehilangan akal.

Setelah beberapa detik, aku baru menyadari kalau pemuda itu mengambil ponselku dan sedang mengotak-atiknya.

"Ei, ngapain?"

"Mau telepon Papa kamu, kira-kira sopan gak ya nelepon dia? Hm, tadi lupa minta izin sama dia kalau mau main sama anaknya sampai malem," cerocosnya.

Mataku membelalak. Dia mau ngomong sama Papa? Oh, Tuhan, Deka berhenti membuatku semakin jatuh.

"Aku saja yang bicara," ujarku dan berusaha untuk mengambil ponselku dari genggamannya.

Namun dia menjauhkan tangannya. "Aku saja," ujarnya.

"Biar aku saja, Deka," aku menekankan kalimatku.

"Biar aku saja, Rara," dia meniruku.

"Oh Tuhan, berhenti bertingkah kekanakan. Dia Papaku jadi biarkan aku saja."

"Karena dia Papamu, makanya harus aku yang bicara," balasnya.

Aku terdiam dan menatapnya dengan kesal sembari cemberut. Dia tertawa kecil dan menjetikkan jarinya pelan pada dahiku.

"Aku yang mengajakmu jalan, jadi ini tugasku untuk minta izin pada Papamu," ujarnya lembut. "Biarkan aku melakukan tugasku, oke?"

Aku tidak tahu kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaan yang sedang menggebu-gebu tak karuan di dalam dadaku saat ini. Perasaan yang menyenangkan dan hangat namun sesekali membuat pedih. Berdebar tanpa tahu caranya untuk kembali normal. Menggila seperti otakku yang sedang kehilangan akal. Aku tidak bisa mengendalikan organku lagi.

Semuanya sudah dicuri oleh pemuda ini. Tanpa kutahu kapan dia mulai mencurinya.

Sesaat setelah itu, aku melihatnya sedang berbicara dengan Papa di telepon. Aku memperhatikannya yang sedang memegang ujung bajunya sendiri dan memelintirnya sesekali, kemudian dia melakukan gerakan yang sangat kusukai, yaitu menggosok lehernya dengan lembut. Tanpa sadar aku tersenyum dan menyadari kalau gerakan itu ia lakukan ketika, sedikit malu, tegang, dan mungkin bingung.

"Kita mendapatkan izin, tapi kata Papamu jangan malam-malam pulangnya."

Aku mengangguk. Detik berikutnya, sudut bibirku tertarik ke atas dan membentuk senyuman samar. Deka menyaksikan itu dan mengerutkan dahinya seraya menyenggol pundaknya ke pundakku. Omong-omong, dia sering sekali melakukan hal itu padaku.

Tulisan, Basket & PianoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang