[8]

36 7 7
                                    

Sore itu mendung, semendung suasana hatiku.

    Sekali lagi aku menegaskan pada diriku sendiri untuk menguburnya. Namun, perasaan bodoh ini selalu menepis itu. Deka pembohong! Itulah yang terus dikatakan oleh hatiku. Dia yang mengatakan kalau setelah ditolak aku akan bisa melupakannya. Nyatanya tidak. Atau mungkin, belum.

    Aku hanya perlu mencobanya lebih keras lagi. Mungkin.

    “Makan,” ujar Oki yang ada di depanku. Ia menatapku dan menunjuk nasi ayam geprek yang sedari tadi hanya aku aduk-aduk saja.

    “Ah, iya,”

    Aku menyuap sesendok nasi ke mulutku dan mengunyahnya tanpa suara. Aku menyadari satu hal ketika sedang menyantap makananku; Oki terus-terusan menatapku.

    Dia menatapku dengan ekspresi sendu. Aku berpaling dan melihat menembus kaca yang ada di sampingku, mobil-mobil berderet tak bergerak. Seorang pemuda menawarkan koran pada mobil-mobil tersebut. Ia berhenti ketika lampu sudah berubah menjadi warna hijau.

    Tidak ada yang bersuara di antara kami berdua. Hanya musik sialan yang terus bergema di dalam restoran ini, mengatakan apa yang sedang kurasakan saat ini. Atau bisa jadi musik ini penyebab kenapa aku begitu galau saat ini.

    “Jangan menatapku seperti itu lagi. Aku tidak akan bunuh diri hanya karena ditolak seseorang,” ujarku dan menyuapkan sesendok nasi lagi.

    Ia tertawa kecut. “Tentu. Jika sekali saja kamu berpikir untuk bunuh diri, aku sendiri yang akan membunuhmu.”

    Sekarang giliranku yang tertawa. Namun kami berdua menyadari kalau tidak ada rasa senang dalam tawa itu.

    “Bagaimana kamu akan menyikapinya besok dan seterusnya? Kemungkinan besar kamu tidak bisa menghindarinya.”

    “Aku memang tidak berniat menghindarinya,” balasku, tersenyum. “Tenang saja, aku bisa melewati ini. Sekarang, bisa tolong katakan pada pelayan itu untuk mengganti lagunya? Tolong.”

    Oki melemparkan sebuah senyuman padaku dan berteriak. “Siap,” tindakan bodoh gadis itu mampu membuatku tertawa sebenarnya kali ini.

    Semuanya akan baik-baik saja.

    Itulah yang aku harapkan.



    “Tugasmu mana, Ser? Aku nyontoh dong,”

    Gadis yang kuajak bicara bereaksi. Ia mengeluarkan selembar polio dan memberikannya padaku. “Tumben belum buat tugas, sesibuk itukah si penulis naskah ini, Ki?” ia menyenggol tangan Oki dengan sikunya dan memandangku penuh jenaka.

    “Oh Sera, penulis naskah memang sibuk. Atau mungkin sok sibuk,” tawa mereka meledak diiringi dengan tatapan teman sekelas yang lainnya.

    “Kalian tidak diundang. Terima kasih,” aku pergi tanpa mempedulikan teriakan mereka yang seolah-olah memang tidak ingin datang di drama tersebut.

    Semalam aku tidak bisa membuat tugas dengan tenang karena Kak Risya dan Kak Andre pergi ke acara pesta pernikahan teman kampusnya dan mereka menitipkan Ziva padaku. Sialnya lagi, saat mereka sudah pergi Ziva malah terbangun dari tidurnya dan dari sanalah muncul mimpi burukku.

    Ditambah Papa dan Mama juga ada acara di kantor mereka masing-masing. Juga Kak Adit dan Kak Mina terus-terusan meneleponku selama tiga hari ini. Malam yang melelahkan.

    Aku mengedarkan pandanganku dan mendapati teman-teman sekelas sedang sibuk menyalin tugas Sera dan yang lainnya. Tangan mereka bekerja keras begitu pula dengan mulut mereka. Terlalu berisik, itulah yang muncul di otakku. Aku terbiasa meneriaki mereka jika aku benar-benar sedang bad mood dan mereka akan mengerti lalu memelankan suaranya. Namun aku tidak ingin mengganggu kali ini, jadi biarkan aku mengalah.

Tulisan, Basket & PianoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang