“Ah,” aku bersuara setelah melihat layar ponselku. “Kita melupakan Hani,” kemudian aku nyengir pada pemuda yang sedang duduk di depanku dan memakan es krim vanilanya. Hani mengirimiku pesan.
Deka belum memperbolehkanku pulang dan memutuskan untuk membawaku ke kedai es krim yang ada di depan kompleks, yang berarti melewati rumahku. Sekarang kami berdua makan es krim dan meninggalkan Hani sendirian di sana.
Pemuda itu membalas cengiranku dan menyuapkan es krim ke dalam mulutnya. “Ya, dia tidak akan tersesat,” balasnya.
Aku tertawa. “Dia mungkin akan marah pada kita karena tidak mengajaknya makan es krim, terlebih padaku karena telah membawa sahabatnya.”
“Aku yang membawamu ke sini, Ra. Dia tidak akan marah padamu, kalau dia marah padamu, laporkan itu padaku, aku yang akan memarahinya, oke?” ujarnya yang memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
“Siap, Pak!” balasku dan mengangkat tanganku yang membentuk hormat seperti pada sang merah putih, dia terkekeh.
Selama beberapa menit ke depan, kami berdua menceritakan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan kami sehari-hari. Dia banyak menanyaiku tentang keluargaku, terlebih lagi tentang keponakanku yang lucu, Ziva. Katanya dia ingin bertemu dengannya lagi dan menggendongnya, aku terkesan dengan ini karena jarang sekali pemuda menyukai anak kecil.
Dia juga bercerita kalau dia memiliki keponakan laki-laki dari kakak perempuannya dan keponakannya itu sangat nakal, tapi menggemaskan. Aku tersenyum ketika dia menceritakan tentang keponakannya itu, aku bisa melihat dia begitu menyayanginya. Matanya berbinar dan senyumnya tidak memudar sedikit pun.
Namun aku menyesali pertanyaanku selanjutnya.
“Bagaimana dengan orang tuamu? Mereka pasti sangat menyayangi kalian,”
Dia terdiam. Ekspresinya mengeras. Matanya yang sebelumnya berbinar, sekarang berubah menjadi sendu dalam sekian detik. Aku sungguh membenci diriku saat ini.
“Ya, mereka sangat menyayangi kami,” ujarnya pelan. “Tapi ibuku sudah meninggal delapan bulan yang lalu,” lanjutnya yang membuatku mengerti kenapa matanya menjadi sedih.
“Sori, Deka, aku tidak tahu,” ujarku pelan.
“Tidak, jangan minta maaf, Ra,” dia tertawa, hambar. “Kenapa kamu harus minta maaf sih? Aku tidak mengerti kenapa orang minta maaf ketika mendengar kalau keluarga orang lain meninggal, maksudku kalian bukan penyebab mereka meninggal,” lanjutnya dan menatap mataku dengan tatapan itu lagi.
“Ah, benar,” aku berusaha untuk tersenyum.
“Juga, keluargaku tidak sebahagia keluargamu,” lanjutnya.
Dan kali ini aku bersumpah, aku tidak tahan melihat matanya. Pasti ada sesuatu yang tidak kuketahui tentang dirinya, dan hal ini sungguh membuat pemuda yang ada di depanku menderita. Tanganku mengambil alih diriku, aku meraih tangannya yang ada di meja dan menggosoknya pelan dengan ibu jariku.
Dia terdiam dan melihatku melakukan itu pada tangannya. Aku segera menarik tanganku karena kurasa dia tidak nyaman dengan perlakuanku karena dia hanya diam saja tanpa mengatakan apapun dan melakukan apapun. Tetapi ketika aku menarik tanganku, saat itu dia meraih tanganku kembali dan menggenggamnya.
Aku akan menjadi pembohong besar kalau mengatakan aku baik-baik saja.
Aku tidak baik-baik saja.
Bagaimana bisa aku membuatnya tenang kalau aku sendiri tidak bisa setenang ini? Oh, jantung sialan.
“Terima kasih, Ra,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan, Basket & Piano
RomanceKatanya, menyatakan perasaan dan ditolak akan membuat perasaan itu terkubur dengan sendirinya Sayangnya, tidak berlaku, Untukku.