“Woi, hari ini kita kuis,”
Satu kalimat yang membuat semua orang di kelas terdiam sejenak, sesaat kemudian ricuh. Mengeluh, mengumpat, dan melakukan serangan mulut lainnya. Ada beberapa yang mengutarakannya dengan suara yang nyaring.
“Yang benar aja? Baru pertemuan pertama lho,” ia menekankan suaranya pada kata pertama. Ungkapan itu langsung saja disetujui oleh semua pihak.
“Katanya sih pre-test. Hehh,” ia menghela napas dengan berat. “Kita sebaiknya siap-siap.”
Aku yang baru sepuluh menit membaca novel Beyonders segera menutupnya kembali dan menghela napas panjang dan berat sama seperti Yadi barusan—sang pembawa pesan. Yang paling tidak aku mengerti, kami tidak punya buku. Jadi kami harus belajar dari mana? Oh aku lupa, ada Google. Tapi di gedung ini jarang sekali ada sinyal. Wirelessnya juga lambat setengah mati.
Seseorang mencolekku dari belakang. Aku menoleh dan mendapati Deka dengan pena di tangannya. “Baca novel apa?” ia menunjuk novel yang ada di mejaku dengan pena hitam yang ia pegang.
Aku mengikuti arah penanya, meskipun aku tahu ia menunjuk novel Beyonders-ku yang tergeletak dengan rapi. Aku meraihnya dan memberikannya pada pemuda itu. Ia mengernyitkan dahinya dan membaca sinopsis yang ada di bagian belakang sampul.
“Waw, kamu suka baca genre fantasi terjemahan?” komentarnya.
Aku mengangguk.
“Keren. Kamu tahu kan seberapa sulitnya mencerna kalimatnya? Dan itu semua bisa dicerna oleh otakmu?” ia menunjukkan kekaguman yang luar biasa dilihat dari ekspresi di wajahnya.
Aku tertawa. “Kamu mengatakannya seolah-olah aku sangat pintar,” balasku. “Sejujurnya tidak begitu sulit untuk memahami dan membayangkan apa yang dijelaskannya, namun memang ada beberapa bagian yang sulit untuk dicerna atau butuh dibaca berulang-ulang kali untuk memahami maknanya. Tapi gak sesulit yang terlintas di pikiranmu,” lanjutku seraya tersenyum.
“Oh benarkah?” ia menggaruk lehernya dengan canggung, kemudian menatapku dan melayangkan senyumnya.
Jika kalian pernah melihat senyum seorang pemuda yang begitu menawan, kurasa kalian tahu apa yang terjadi padaku sekarang. Aku tidak pernah tahu kalau senyum seseorang bisa membahagiakanku seperti ini, terlebih lagi orang itu adalah orang yang baru kita kenal dalam seminggu.
Aku memperhatikannya yang masih membolak-balik novel di tangannya, seakan novel itu adalah foto wanita cantik yang tidak bisa ia lepas dari pandangannya. Dia sungguh mirip orang Timur Tengah. Aku menghela napas pelan.
“Kenapa?” ia mendongak.
“Eh?” aku terhenyak untuk sesaat. “Tidak ada,” balasku, lalu memalingkan tubuhku.
“Novelmu ketinggalan,” bisiknya di telingaku.
Oh Tuhan!
Aku mengangguk. Tanpa menoleh ke arahnya, aku menjulurkan tangan dan dia meletakkan novel itu di telapak tanganku. Sesaat kemudian, Bu Opik datang dengan membawa beberapa berkas. Aku duduk di barisan tengah, jadi masih bisa mendengar kalau di barisan belakang ada yang mendecakkan lidahnya dengan kuat.
Setelah itu, beberapa menit yang menyebalkan datang.
Tidak ada yang lebih menggoda dari es jeruk dan satu mangkok bakso di saat seperti ini. Perpaduan di atas sungguh tidak bisa ditolak oleh siapa pun. Terlebih lagi ketika dirimu sedang mendengarkan ocehan dari seorang teman yang tidak bisa berhenti dalam waktu singkat. Kalian sangat membutuhkannya agar tidak emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan, Basket & Piano
RomanceKatanya, menyatakan perasaan dan ditolak akan membuat perasaan itu terkubur dengan sendirinya Sayangnya, tidak berlaku, Untukku.