[2]

69 9 0
                                    

Macet.

    Seharusnya aku pergi menggunakan motor saja tadi. Aku sudah punya feeling kalau hari ini akan macet total. Sial. Tapi karena kakak perempuanku yang takut terjadi sesuatu pada adiknya terus menyuruh untuk menggunakan mobil. Dan di sinilah aku, terjebak macet yang panjang. Bakal butuh waktu dua jam ke kampus kalau seperti ini, padahal kalau menggunakan motor bisa saja tiga puluh menit.

    Aku memijat pelipisku. Menyelipkan rambut di telingaku. Dan mulai mengetuk-ngetuk setir mobil dengan ujung jari, mengiringi musik yang mengalun. Saat aku sedang asik mendengarkan lagu, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak. Aku menaruh perhatian pada kedua orang yang sedang berteriak tersebut, dan membuka kaca mobil sedikit agar bisa mendengar lebih jelas.

    “Ada apa di depan?” tanya sopir taksi

    “Ada kecelakaan. Satu pengendara motor tewas, badannya cukup hancur,” balasnya berteriak.

    Aku segera menutup kaca mobil. Kecelakan. Tewas. Pilihan yang tepat Kak Risya menyuruhnya untuk menggunakan mobil saja. Mungkin mobil memang lambat, tapi cukup aman.

    Untuk kedua kalinya ponselku berdering. Tidak lain dan tidak bukan, temanku yang cerewet akan mengomeliku karena terlambat. Atau aku bisa saja menghindari omelannya dengan tidak mengangkat telepon darinya. Oke, pilihan kedua menarik.

    Namun dia terus-terusan meneleponku.

    “Apa?”

    “Ra, ada anak baru yang nanyain kamu,”

    “Hah? Siapa?”

    “Radeka Arkaan. Kamu kenal dia?

    “Enggak,” balasku, “Ya udah aku akan segera ke sana, tapi sekarang lagi terjebak macet. Sabar saja. Dan sungguh, aku nggak kenal sama cowok itu,” aku mematikan telepon darinya karena mobil di depan sudah mulai berjalan. Dan mobil di belakang tidak sabaran.


Ternyata tidak memakan waktu dua jam untuk sampai ke kampus. Satu jam cukup, ya syukurlah karena Oki terus-terusan meneleponku. Bukan tentang cowok itu lagi, tapi karena ia bingung harus ambil Mata Kuliah apa semester ini karena ia hanya dapat 21 SKS.

    “Aku datang, ada apa?” tanyaku ketika aku sampai di depan jurusan.

    “Sebaiknya aku ambil Mata Kuliah apa, Ra?”

    Aku memutar bola mataku. Jangankan untuk memberi saran untuknya, untuk mengisi KRS-ku saja aku harus menanyai beberapa teman yang tidak akrab denganku. Aku juga bingung.

    “Tanya kak Andi aja, Ki. Aku beneran gak ada saran, mungkin bagus ambil pilihan atau mungkin wajib, gak tahu deh,”

    Oki berdiri dan langsung masuk ke ruang jurusan yang dipenuhi oleh banyak orang. Sepatu berserakan di depan ruangan. Cowok dan cewek mondar-mandir seraya membawa kertas di tangannya. Tanya ke sana-sini dengan gesit.

    Aku mengambil tempat duduk Oki tadi, dan duduk di samping Via. Teman akrabku yang satunya lagi. Hari ini ia memakai celana jin biru dengan blouse pink yang cantik, cocok dengan kulit putihnya.

    Aku kembali mengedarkan pandanganku pada sekeliling. Kurasa hanya aku yang terlihat santai-santai saja hari ini. Mereka semua terlihat sangat sibuk mengurusi jadwal yang tabrakan dengan Mata Kuliah yang lain. Sedangkan aku hanya menunggu, karena menurutku untuk apa aku juga masuk ke ruang jurusan kalau tujuan kami semua sama. Biarkan mereka saja yang mengurusnya.

    “Tadi ada cowok dan cewek yang nanyain kamu, Ra,” Via bersuara agak nyaring karena sekeliling kami berisik.

    “Siapa?” balasku.

Tulisan, Basket & PianoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang