[16]

14 3 3
                                    

Ini pagi tersibuk yang aku hadapi setelah satu bulan yang lalu disibukkan oleh pementasan.

    Aku memarkirkan motorku di bawah pohon dan menoleh ke sekeliling, berharap menemukan seseorang yang aku cari sedari tadi. Aku sudah duduk di bawah pohon selama hampir sepuluh menit tapi pemuda itu masih belum datang juga.

    Tanganku mengetuk-ngetuk buku yang sedang ada di pangkuanku dengan berirama. Sedari tadi orang-orang melihatku dengan aneh karena hanya aku sendiri yang parkir di sini, padahal jelas-jelas ada tulisan dilarang parkir.

    “Halo, Ra,”

    Aku menoleh dan mendapati seorang pemuda yang tidak asing berdiri di sampingku, tapi aku lupa namanya. Dia menyadari kalau aku terlihat bingung sembari memandangnya.

    “Aku Nando, temannya Rehan, yang di kantin itu lho,”

    Aku membuka mulutku dan mengucapkan ‘ah’ tanpa suara seraya menganggukkan kepalaku beberapa kali. “Iya, sori aku lupa,” balasku malu.

    Dia tersenyum. “Nungguin Rehan, ya?” tanyanya.

    Aku mengangguk.

    “Ya udah kalau gitu, aku duluan ya, bentar lagi masuk soalnya,” dia tersenyum, kemudian dengan perlahan menghilang dari pandangannku.

    Sekali lagi, tinggallah aku sendirian dengan motor kesayanganku.

    Aku kembali pada aktivitasku dan jemariku mengetuk-ngetuk buku lagi, begitu juga dengan kakiku yang mengetuk-ngetuk aspal mengikuti irama jemariku. Sebuah suara menghentikanku, aku menengadah ke atas pohon dan mendapati satu ekor burung hinggap di sana. Dia menunduk, melihat tepat ke arahku. Itu adalah jenis burung yang paling sering kita jumpai, aku tidak tahu namanya, tapi burung itu kecil dan berwarna cokelat.

    “Ra, sori lama,”

    Aku segera memutar badanku dan melihat pemuda itu dengan kesal. Dia membalasnya dengan cengirannya yang biasa seraya menaik-turunkan kedua alisnya.

    “Rehan, aku serius, sekali lagi kamu buat aku nunggu kayak gini. Aku botakin juga rambutmu,” ujarku dan segera melemparkan buku arsitektur kepadanya.

    Kemarin sore aku mampir ke perpus dengan Oki dan Via. Rehan meneleponku dan menanyakan aku di mana, setelah tahu aku ada di perpus dia menyuruhku untuk meminjam buku arsitektur. Aku sudah menolongnya untuk meminjamkan buku, dan dia menyuruhku untuk mengantarkannya ke fakultasnya padahal sepuluh menit lagi aku masuk. Katanya aku akan dapat pahala yang besar, his.

    “Sori. Tadi Dosen tiba-tiba manggil, ya prioritasku pasti Dosen dong,” dia masih saja ingin bermain-main denganku.

    “Bodo deh bodo! Aku udah hampir telat,” aku membenarkan posisiku di atas motor dan segera menstarter.

    “Kamu lagi bad mood, ya?” tanyanya dan duduk di jok belakang.

    Aku memutar mataku dan menoleh ke arahnya. “Pagi ini aku kesiangan dan aku lupa ngerjain tugas, ditambah Mama pagi ini baru pulang dan langsung ngerecokin aku karena aku semalam lupa ngunci pintu rumah padahal aku sendirian. Dan sekarang, kamu nambah bikin aku kesal,” ujarku. “sebelum aku tambah kesal lagi, mendingan kamu cepat turun,” lanjutku.

    Dia segera turun dari motorku dengan ekspresi ngeri. Aku memberikan tatapan—bagus—untuknya dan dia mengangguk.

    “Ya wajar sih Mamamu marah, kamu itu cewek masa rumah gak dikunci. Gimana kalau aku masuk rumahmu dan ke kamarmu?” ujarnya yang menghentikanku untuk menjalankan motor.

Tulisan, Basket & PianoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang