Pagi ini kuawali dengan gerutuan keras. Langkah yang buruk untuk mengawali sebuah hari, namun aku tidak bisa menepisnya, seseorang sudah membuatku sebegini kesalnya pada jam setengah sembilan pagi.
Yap, aku di kampus. Dan hendak bertemu dengan dosen pembimbingku untuk minta tanda tangannya di KRS supaya aku bisa mendapatkan KHS asli dari pihak jurusan. Aku sudah mengirim pesan padanya pada pukul setengah delapan dan hanya dibalasnya dengan:
Sekarang.
Saat itu aku belum siap-siap untuk pergi ke kampus, sedangkan jarak kampus dan rumahku hampir memakan waktu setengah jam, dan terlebih lagi, aku belum mandi. Jadi kalian bisa menebak apa yang aku lakukan? Aku tidak mandi.
Prinsip pertama dalam hidupku adalah; aku tidak mau membuat orang lain menungguku. Terlebih lagi ini dosen pembimbingku. Alhasil, aku tidak mandi, hanya mencuci muka saja dan selesai. Selesai dalam sepuluh menit.
Aku menuruni tangga dengan kecepatan yang tak terkirakan sampai-sampai aku hampir menabrak kak Risya yang berdiri di ujung tangga dan hanya melongo menatapku.
“Kenapa buru-bu—” ucapannya terpotong.
“Aku ada kencan dengan dosen pembimbingku. Bye,” balasku tanpa menolehnya dan segera menyambar kunci motor yang tergantung di dinding.
“Setidaknya kamu harus mandi untuk kencan penting ini,” celetuk Mama.
Aku menoleh dan mengedipkan sebelah mataku padanya. “Dia akan tetap menyukaiku apa adanya,”
Mama tertawa sedangkan kak Risya membuka mulutnya sedikit dan terperangah dengan kedipanku barusan, kurasa. “Ma, tolong belikan dia obat. Siapa yang akan menyukainya kalau dia seperti ini?”
“Hei, aku akan menjelaskan secara rinci kalau aku sudah pulang. Tapi untuk singkatnya, aku tidak seperti ini ketika aku di luar rumah. Dan percayalah kak, mereka gak akan tahu kalau aku belum mandi.”
Setelah mengatakan itu dan menunjukkan senyum percaya diri sekaligus menjijikkan yang pernah aku keluarkan untuk mereka, aku segera pergi keluar dan menghidupkan motor. Setelah itu, sampailah aku di kampus.
Namun, drama ini tidak berakhir hanya sampai situ. Ketika aku sampai di kampus dan segera menuju ruang dosen, kalian bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya? Oh kalian pasti bisa, ini sudah sering terjadi dikalangan mahasiswa. Dosennya sudah pergi. Ia ada tugas mendadak. Tanpa kabar. Dan hilang secepat angin.
Aku suka sekali tipe itu.
Ya kalimat di atas sebenarnya adalah sebuah sarkasme.
“Kamu ingin mencium siapa, Ra?”
Sebuah suara yang kukenal mengejutkanku. Dia duduk di sampingku dan menoleh, senyum jenakanya menghias wajahnya yang berkeringat. Tadi aku memajukan bibirku sepanjang beberapa sentimeter, meskipun menurutnya aku hendak mencium, bisa kupastikan ciuman itu adalah ciuman mematikan.
Aku mengerutkan dahi. “Kamu ke kampus berlari ya? Sampe berkeringat seperti itu.”
Ia mengusap dahinya dan melihat telapak tangannya yang basah. “Ya, sama sepertimu,” ia melihat dahi dan leherku.
Aku meniru gerakan Deka sebelumnya dan mendapati telapak tanganku juga basah. Kami memandang satu sama lain dan tertawa.
“Kamu duluan,” ucap kami serempak dan tertawa lagi.
“Oke, aku duluan,” aku berusaha meredakan tawaku. “Aku mengirim pesan pada dosen pembimbingku jam setengah delapan tadi, dan dia menyuruhku untuk segera datang padahal saat itu aku belum siap-siap, bahkan belum mandi, dan,” aku segera merapatkan bibir dan mengigit bagian dalam bawah bibirku.
“Jam setengah delapan ya? Sekarang jam setengah sembilan, tadi jalanan macet. Jadi...” ia sengaja menggantung kalimatnya dan memicingkan matanya ke arahku.
Aku memutar bola mataku. Pipiku terasa panas karena malu. Aku melakukan kesalahan, apanya yang tidak akan diketahui orang lain kalau aku tidak mandi? Aku bahkan membocorkannya sendiri, terlebih lagi pada Deka. Haa, kenapa aku bisa sebodoh ini?!
“Katakan saja, jangan gantung,” aku menopang wajah dengan tangan kiriku dan memperhatikannya yang sedang tersenyum meskipun aku sedang malu setengah mati.
“Kamu tetap cantik meskipun tidak mandi,”
Ah, dia memilih menggunakan kata-kata yang halus nan manis. Tipikal seorang player!
“Benarkah?” balasku. Aku mengangguk-angguk dan menepuk kedua pahaku, “kalau begitu besok aku tidak usah mandi saja.”
“Oh jangan lakukan itu,” jawabnya segera.
Tawaku tak tertahankan lagi. Begitu pula dengan dirinya. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan dan tertawa di balik kedua tangan tersebut. Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya sekarang, tapi aku masih mendengar suara tawa yang renyah miliknya, membuat seseorang yang mendengarnya akan terus tertawa.
“Jadi bagaimana dengan dirimu?” tanyaku setelah tawa yang nyaring tadi berhenti dan suasana menjadi hening.
Deka menarik napas panjang dan mengeluarkannya lewat mulut. Ia mengulanginya sekali lagi, dan membuatku semakin ingin tertawa. Ia kehilangan udara untuk bernapas.
“Aku hanya mondar-mandir di tangga,” jawabnya. “Maksudku aku naik-turun tangga, dan itu lantai tiga. Aku naik ke lantai tiga dua kali pagi ini, makanya aku sedikit berkeringat.”
“Kenapa?”
“Hani membutuhkan bukunya, ketinggalan di dalam tasku.”
Aku tidak menjawab.
“Anak itu selalu meletakkan bukunya di dalam tasku, tidak membuatku berat sih karena dia hanya memasukkan buku tulis tipis, tapi dia selalu lupa mengambilnya kembali dan membutuhkannya lagi secepatnya. Hasilnya? Aku yang ia suruh untuk ke kelasnya,”
Aku mengangguk-angguk pelan. Entah kenapa, perasaan aneh menghinggapi hatiku saat ini. Perasaan berdebar namun nyeri. “Berarti lain kali, kamu harus mengingatkannya untuk mengambil bukunya sebelum ia pergi,” balasku sekenanya.
“Masalahnya, aku juga pelupa,” ia menggaruk tengkuknya. Gerakan yang aku suka darinya.
Namun aku tidak tahu dia melakukan gerakan itu ketika dia sedang merasakan apa? kebanyakan orang melakukan suatu gerakan yang cukup aneh ketika dia berbohong dan canggung.
Ah, aku tidak peduli. Aku menyukai gerakan itu. Apalagi kalau dia sedang tersenyum.
Aku menyukainya.
![](https://img.wattpad.com/cover/164653135-288-k695046.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan, Basket & Piano
RomanceKatanya, menyatakan perasaan dan ditolak akan membuat perasaan itu terkubur dengan sendirinya Sayangnya, tidak berlaku, Untukku.