Hari ini adalah hari di mana aku bisa menikmati hasil jerih payahku selama beberapa bulan terakhir, mulai dari membuat naskah dan melakukan persiapan untuk pementasan ini. Aku sedang duduk di sofa barisan kedua bersama dengan ketua Klub Menulis, Klub Seni, ketua BEM, dan ketua-ketua yang lainnya. Jujur, aku merasa sangat spesial hari ini karena bisa duduk satu barisan dengan pejabat kampus.
Kalau sofa barisan kedua ditempati oleh pejabat kampus, maka sofa barisan pertama ditempati oleh para dosen yang bisa hadir dalam pementasan hari ini dan puluhan barisan yang memenuhi auditorium kampus ini diisi oleh Mahasiswa/i kampus, Mahasiswa/i kampus lain, dan juga orang tuaku beserta Kak Risya dan Ziva, Kak Andre tidak bisa hadir karena dia punya pekerjaan lain.
Tidak ada hari lain yang membuatku secemas hari ini. Ini hari yang luar biasa menguras mentalku, aku hanya duduk saja di sofa dan merasakan tiap detiknya mental dan emosiku terkuras secara perlahan. Tanganku tidak bisa berhenti mengeluarkan keringat dingin, begitu juga dengan kakiku.
Kak Adit yang duduk di sampingku sedari tadi memperhatikan dan beberapa kali menepuk pundakku dengan pelan, dia tersenyum ke arahku dan mengacungkan jempolnya yang membuatku iri setengah mati dengan kukunya yang cantik.
“Kenapa kamu sangat gelisah, Ra?” ia terkekeh pelan. “Ini akan baik-baik saja, dua puluh menit lagi drama ini akan selesai,” ujarnya.
“Aku tidak tahu kenapa aku sangat gelisah, Kak,” balasku pelan. “Rasanya ini membunuhku secara perlahan,” lanjutku.
Dia tertawa kecil dan kembali menepuk pundakku. “Nikmati saja siksaan kecil ini.”
Aku cemberut mendengarnya, dia tidak membantu sama sekali.
Sekarang mataku kembali fokus pada drama di depan. Naskahku ini tentang percintaan, sebenarnya. Makanya aku sangat cemas ditonton oleh para dosen, aduh. Dan ini adalah bagian yang paling membuatku kesal dengan tokoh utama cowoknya karena dia kembali dari luar negeri, setelah enam tahun tidak kembali dan meninggalkan tokoh utama ceweknya begitu saja tanpa ada kabar setelahnya.
Pokoknya endingnya mereka tidak bersatu, itu saja. Aku tidak ingin membicarakan naskahku karena aku juga kesal dengan endingnya. Mataku berjalan ke arah kananku dan berhenti di sosok pemuda yang selalu berhasil membuatku tak karuan. Dia memegang gitarnya dan bersiap-siap untuk memetiknya.
Kalian setuju jika seorang pemuda akan bertambah tingkat ketampanannya ketika ia memegang alat musik? Aku sepenuhnya setuju. Dia memetik gitar dengan perlahan dan mengeluarkan suara yang sangat kusuka. Sama seperti ketika di kantin, petikan itu menciptakan rasa nyeri di hatiku, menusuk-nusuk jantungku dan membuat isi perutku berantakan.
Tapi aku menyukainya. Instrumen ini juga cocok untukku. Instrumen patah hati.
“Tantee,”
Aku menoleh dan mendapati Kak Risya yang sedang menggendong Ziva dan disusul oleh Mama dan Papa. Ziva tertawa sembari menggigit jarinya dengan gigi yang masih belum tumbuh sepenuhnya.
“Halo ponakan tante,” aku mencubit pipinya dan mengambilnya dari pelukan Kak Risya.
“Naskahmu luar biasa, Dek,” ujarnya. “Luar biasa bikin Kakak geli,” lanjutnya dan terkekeh.
“Pa, lihat nih anakmu. Masa ngejek sih?” aduku.
Papa tersenyum, dia menepuk kepalaku dengan pelan. “Kamu benar-benar sudah besar, ya, Dek,” ujarnya dengan nada meledek juga. Papa memang memanggilku Adek, berbeda dengan Mama yang hanya memanggilku dengan nama dan kadang memanggilku dengan ‘sayang’.
![](https://img.wattpad.com/cover/164653135-288-k695046.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan, Basket & Piano
RomanceKatanya, menyatakan perasaan dan ditolak akan membuat perasaan itu terkubur dengan sendirinya Sayangnya, tidak berlaku, Untukku.