Ketika aku sampai di bagian depan Kemahasiswaan Fakultas Ekonomi, pintunya masih tertutup yang berarti Deka masih berada di dalam. Aku duduk di sofa yang ada di bagian Administrasi, tidak jauh dari bagian Kemahasiswaan. Sesuatu yang aneh sedang mengacak-acak perutku, perasaan kesal dan cemas bercampur. Pemuda itu benar-benar ingin membuatku menderita.
Aku duduk cukup lama di sana. Orang-orang berlalu lalang di depanku, sepertinya hanya aku yang menunggu Deka di sini. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing dan saat itu aku bertanya pada diriku, kenapa aku tidak mengurusi urusanku sendiri? Kenapa aku terlalu mengurusi pemuda itu? ah, sial.
"Ra," suara yang sudah sangat kukenal memanggil namaku. Hani duduk di sampingku dan memegang pundakku pelan. "Di mana Deka?" tanyanya.
Tanpa mengeluarkan suara, aku menjawab menggunakan mataku yang tertuju pada pintu yang tidak berada jauh dari tempat kami duduk.
Tidak lama kemudian, dua orang pemuda keluar dari ruangan itu. Deka dan seseorang yang tidak kuingat namanya. Hatiku mengecil, dia tampak kacau. Sungguh. Dari jarak ini aku bahkan bisa melihat kalau sudut bibirnya berdarah dan di bawah mata kirinya membiru.
"Deka," Hani bersuara. Ia segera menghampiri Deka yang menoleh dengan ekspresi terkejut untuk sesaat kemudian dia mengeluarkan senyuman biasanya.
Aku benci pemuda ini.
Hani menyuruh Deka untuk duduk di sampingku, sedangkan ia berdiri. Ketika pemuda itu duduk, aku segera berdiri di samping Hani. Dia melihatku dengan penuh tanya tapi aku tidak mempedulikannya. Aku kesal.
"Kenapa bisa berantem?" Hani mulai interogasinya.
"Dia yang mulai. Aku tidak sengaja menyenggolnya namun dia berpikir aku mendorongnya dan dia mendorongku dengan keras, lalu aku membalas, dan seperti itulah," jawabnya sembari mengangkat bahu. "Kurasa moodnya sedang buruk dan moodku juga sedang buruk, jadi kami cocok," dia tersenyum lagi.
"Deka, apa kamu bodoh?" Hani berkacak pinggang. "Kamu bahkan tidak bisa mengendalikan moodmu hingga memukul seseorang? Astaga,"
"Kubilang dia yang mulai,"
"Kamu memang bodoh,"
"Han, moodku sedang buruk. Aku tidak ingin membahas ini lagi,"
"Kenapa tidak? Kamu kekanak-kanakan Deka, tidak ada orang dewasa yang tidak bisa mengontrol emosinya,"
"Kamu tidak dalam posisiku, Hani. Jadi berhentilah," suaranya meninggi.
"Bagaimana posisimu? Beritahu aku biar aku mengetahuinya," balas Hani dengan suara yang lebih tinggi.
Aku merasakan semua orang sedang memandang kami bertiga dan aku juga merasa ini akan berakhir dengan mereka yang berantem.
"Oke cukup, berhenti berdebat," ujarku.
"Jangan ikut campur!" bentak Deka dengan keras.
Dalam satu detik dia bisa membuatku tersenyum, kupikir itu adalah hal yang bagus tapi aku melupakan kalau seseorang yang berharga untukmu bisa melakukan hal yang sebaliknya. Dalam detik lainnya dia bisa membuat jantungku merosot sampai ke perut.
Aku terdiam sembari menatapnya. Napasnya terengah-engah karena menahan emosi yang lama dan telah ia keluarkan padaku. Aku merasakan perasaan nyeri dan sakit yang menghinggapi seluruh organ tubuhku.
"Deka, apa-" Hani tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia melihatku dengan cemas.
Detik berikutnya Deka baru sadar dengan apa yang ia lakukan. Matanya gelisah sembari melihatku. Dia berdiri dan hendak mendekat namun aku berjalan mundur, kakiku bergerak dengan sendirinya tanpa kuperintah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan, Basket & Piano
RomanceKatanya, menyatakan perasaan dan ditolak akan membuat perasaan itu terkubur dengan sendirinya Sayangnya, tidak berlaku, Untukku.