Di kamarnya, Adnan membaringkan tubuhnya di ranjang setelah selesai makan malam dan membantu Andini membersihkan meja dan makanan. Saat ini, yang Adnan lakukan hanya terdiam dan memikirkan jawaban dari banyak pertanyaan yang berada di otaknya. Terutama tentang bagaimana Andini bisa bertahan sampai sekarang, padahal sudah begitu banyak luka yang dia dapatkan.
Sampai saat ini pun, Adnan masih masih menyimpan amarahnya setelah mendengar langsung bagaimana Rio menghina Andini. Ia yang hanya orang lain di pernikahan mereka, merasa turut marah dengan apa yang Rio katakan. Bagaimana mungkin Andini mampu menahan semuanya, segala cacian dan hinaan yang keluar dari bibir suaminya selama ini.
Rasanya Adnan sendiri tidak bisa membayangkannya, bagaimana wanita itu harus menangis dalam kesepian malam. Meskipun Adnan seorang lelaki, namun ia yakin, hati Andini juga pasti merasa sangat sakit, meski bibirnya tersenyum seolah tidak ada yang terjadi.
Sekarang yang Adnan rasakan adalah rasa penyesalan, suatu rasa yang tidak bisa ia ungkapkan, saking besarnya luka yang ia terima setelah melihat kondisi Andini yang sebenarnya. Dulu, saat Adnan berusaha untuk menjauh agar bisa menjaga pernikahan sahabat baiknya itu, ia hanya bisa mendengar kabarnya, bila Andini tersiksa dengan perlakukan Rio yang sering kali bertindak seenaknya.
"Bagaimana mungkin, aku tega membiarkan Rio mendekatimu dulu?" keluh Adnan terdengar putus asa, matanya bahkan hampir menangis saking sesaknya ia melihat Andini diperlakukan buruk oleh sahabatnya. Andai ia bisa memutar waktu, ia akan memperkenalkan diri ke Andini lebih dulu dan tidak menyerah hanya karena rasa persahabatan.
***
Keesokan paginya, Adnan keluar kamar dan berjalan ke lantai bawah, saat kakinya menuju ke ruang makan, ia justru melihat Andini sedang menyiapkan makanan untuk sarapan. Namun anehnya, Adnan tidak melihat Rio ada di sana, hanya ada istri dari sahabatnya itu yang sibuk dengan segala pekerjaannya.
"Pagi," sapa Adnan sopan ke arah Andini yang tersenyum hangat sembari menata makanan di atas meja.
"Pagi. Silakan sarapan dulu!" Andini mempersilahkan Adnan untuk duduk di kursinya, ia masih harus fokus dengan pekerjaannya.
"Iya. Ngomong-ngomong Rio ke mana? Belum bangun ya?" tanya Adnan sembari celingukan mencari batang hidung sahabatnya yang tak kunjung datang.
"Rio belum pulang. Biasanya kalau dia menginap di luar, nanti dia berangkat kerja dari sana." Andini menjadi seadanya yang kian membuat Adnan kecewa dengan sikap sahabatnya.
"Biasanya? Maksud kamu, Rio sudah biasa meninggalkan kamu di rumah sendiri? Bahkan saat malam sekalipun?" tanya Adnan terdengar kurang yakin, namun ia juga ingin memastikannya dari bibir Andini sendiri.
"Iya." Andini menjawab seperlunya lalu menatap ke arah Adnan yang masih tampak penasaran.
"Memangnya kamu tidak takut kenapa-kenapa? Maksudku, kamu kan perempuan, rumah ini juga cukup besar, kalau ada perampok yang datang, bagaimana? Apa kamu enggak takut?" tanya Adnan kali ini, namun Andini justru tersenyum dan menggeleng pelan.
"Awalnya sih takut, tapi semakin lama, aku jadi terbiasa. Sudah ya, silakan sarapan, aku enggak akan ganggu kamu makan kali ini." Andini kembali mempersilahkan Adnan, namun lelaki itu justru menarik tangannya untuk menghentikan langkahnya.
"Tunggu!" pintanya yang tentu saja membuat Andini terdiam menatap tangannya digenggam.
"Eh ... maaf, aku refleks tadi." Adnan melepas rengkuhannya, merasa bodoh saja dengan tangannya yang bisa seenaknya memegang lengan istri dari sahabatnya.
"Iya, tidak apa-apa. Tapi, ada apa?"
"Aku sudah janji kan untuk menemani kamu sarapan, jadi kenapa kamu harus pergi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
selingkuh dengan teman suamiku (TAMAT)
Romance"A-apa kamu bilang? Kamu hamil? Tapi Rio bilang, kamu mandul kan? Itu lah kenapa kalian belum punya anak sampai sekarang, bahkan hal itu juga yang membuat Rio berpikir untuk menyelingkuhi kamu." Adnan. "Itu berarti ... ini anak kamu ...." Andini.