Adnan berjalan ke arah Andini yang tengah sibuk memasak, ia berniat membantu wanita itu membuat makanan untuk mereka sarapan. Bila dilihat dari sorot matanya, Adnan bisa melihatnya dengan jelas, bagaimana wajah itu tampak lelah oleh air mata. Sampai Adnan berpikir, apa yang bisa membuat wajah itu bersinar oleh rasa bahagia. Bila memang ada, Adnan berniat melakukannya apapun caranya.
"Andini, kamu lagi masak?" tanya Adnan basa-basi yang diangguki oleh Andini sembari terus fokus dengan makanannya.
"Aku bantu ya?" tawar Adnan memberi bantuan, yang kali mendapatkan tatapan heran oleh Andini.
"Memangnya kamu bisa melakukan apa?" Andini tampak tak yakin dengan skill yang dimiliki Adnan, bisa dilihat dari caranya tersenyum maklum.
"Apa aja aku bisa."
"Oh ya?" Andini bertanya dengan nada mengejek, bahkan ia tetap melanjutkan pekerjaannya, tanpa menyadari bagaimana Adnan menyipitkan mata ke arahnya.
"Kamu meremehkan aku?" tanya Adnan yang langsung Andini gelengi, meski bibirnya berusaha untuk tidak tersenyum.
"Jelas-jelas kamu meremehkan aku. Lihat, bibir kamu tersenyum!"
"Mana? Tidak kok." Andini mengelak tak terima, tentu saja Adnan tidak mempercayainya begitu saja.
"Sini, aku tunjukkan keahlihanku." Adnan mengambil pisau yang berada di tangan Andini, nada suaranya terdengar penuh keyakinan.
"Kamu akan memotong bumbu ini kan? Biar aku yang melakukannya." Adnan memotong beberapa bawang putih dan merah, bahkan memotong cabe dengan cepat seolah chef handal, membuat Andini takjub, merasa tak percaya saja bila lelaki itu bisa melakukannya.
"Wah, kamu hebat sekali. Jangan-jangan kamu juga pintar memasak?"
"Tentu saja, dulu aku sempat ikut kursus memasak." Adnan menjawab penuh percaya diri.
"Oh ya? Di mana? Aku juga dulu ikut kursus memasak, kali saja kita belajar di tempat yang sama." Andini bertanya antusias, namun Adnan justru terdiam, merasa bodoh saja dengan mulutnya yang bisa-bisanya berbicara hal mengenai dirinya yang dulu.
Andai, Andini tahu, bila Adnan mengikuti kursus memasak karena ia ingin melihatnya dari dekat. Namun sayangnya, Adnan terlalu kurang percaya diri pada saat itu, ia bahkan menggunakan masker selama pelajaran berlangsung. Itu lah kenapa Andini tidak pernah mengenalnya selama mereka di kelas yang sama.
Sampai saat Adnan memiliki keberanian untuk mengajak Andini berkenalan, ia justru dihadapan oleh satu fakta, bila ternyata sahabatnya, Rio, juga sedang mendekati wanita itu. Padahal Adnan sudah membuat sebuah kue, yang sengaja ia buat untuk hadiah perkenalan mereka, namun harus ia berikan pada orang lain dan mengubur perasaannya dalam-dalam.
Saingannya bukan orang lain, teman biasa, atau orang yang kebetulan ia kenal. Saingannya saat itu adalah sahabatnya sendiri, rasanya akan mustahil bila Adnan merebutnya. Itu lah kenapa Adnan berhenti dari tempat kursus itu, dan pura-pura terkejut saat Rio memberitahunya tentang Andini. Padahal, Adnan lah yang lebih dulu menemukannya, ia bahkan sampai rela mengikuti kursus memasak setahun lebih lamanya, namun cinta yang diharapkannya justru terbuang begitu saja.
Sekarang, hanya rasa penyesalan yang datang menyelimuti hatinya. Andai Adnan tidak menyerah, andai ia tidak membiarkan Rio semakin mendekati Andini, andai ia bisa mengajak Andini berkenalan sejak mereka bertemu, mungkin kisah Andini disiksa oleh Rio tidak ada di dunia ini.
"Aku kursus bukan di kota ini, tapi di kota lain, jadi mustahil kalau kita pernah kursus di tempat yang sama." Adnan tersenyum ke arah Andini yang tampak kecewa.
"Padahal cara kamu memotong bumbu itu hampir sama denganku."
"Semua orang yang bisa masak pasti menggunakan cara ini," sahut Adnan cepat yang diangguki setuju oleh Andini.
KAMU SEDANG MEMBACA
selingkuh dengan teman suamiku (TAMAT)
Romance"A-apa kamu bilang? Kamu hamil? Tapi Rio bilang, kamu mandul kan? Itu lah kenapa kalian belum punya anak sampai sekarang, bahkan hal itu juga yang membuat Rio berpikir untuk menyelingkuhi kamu." Adnan. "Itu berarti ... ini anak kamu ...." Andini.