Rio berjalan ke arah ruangannya, namun matanya justru mendapati Adnan berada di tempat kerjanya. Menyadari sahabatnya sudah kembali itu, Rio berbalik arah dan menghampirinya.
"Adnan, kamu sudah kembali?" tanya Rio ke arah Adnan yang tengah sibuk dengan pekerjaannya.
"Iya." Adnan tersenyum setelah menghentikan aktivitasnya.
"Kapan? Aku enggak lihat kamu di rumah?" Rio bertanya penasaran, namun Adnan justru tersenyum mendengarnya.
"Aku memang belum pulang ke rumahmu, tapi aku berangkat kerja dari rumah orang tuaku."
"Oh ya? Kenapa harus buru-buru kerja? Memangnya orang tuamu tidak mengkhawatirkan kamu apa?"
"Kalau lama-lama di sana, aku bisa saja keceplosan, aku cuma memperkecil kemungkinan mereka curiga, jadi akan lebih baik kalau aku segera kembali."
"Oh begitu, baguslah. Aku ke tempat kerjaku dulu ya? Ada banyak pekerjaan yang harus aku lakukan," pamit Rio yang hanya Adnan angguki, tanpa menyadari bagaimana Adnan tersenyum hambar melihat punggung sahabatnya yang kian menghilang.
Adnan tidak mau berlama-lama di rumah orang tuanya, karena ia ingin bersama Andini, ia tidak akan membiarkan wanita itu sendiri lagi. Terlebih lagi melihatnya menangis dan menderita, setidaknya meskipun Adnan belum bisa membawanya pergi, Adnan harus bisa menemaninya dan menguatkannya.
***
Andini menghela nafas panjangnya, tadi malam ia tidak bisa tidur memikirkan Adnan. Lelaki itu begitu baik dan tulus, membuat Andini merasa nyaman dan aman berada di dekatnya. Terlebih lagi setelah mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari bibirnya, Andini merasa tenang seolah ia tidak perlu takut rubuh dan terjatuh sendirian.
"Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya, kenapa aku tidak mau bercerai dengan Rio?" gumam Andini lirih, hatinya seolah bimbang untuk memilih.
Jujur saja, Andini sendiri juga merasa lelah, tubuhnya serasa berat untuk tetap berjalan di dalam kehidupan yang menyesakkan. Namun Adnan datang, bagai udara segar yang memberinya nafas, yang ingin mengeluarkannya dari kehidupan itu, namun ada sesuatu yang mengharuskan Andini tetap bertahan. Kalau saja, Andini bisa mengatakan masalahnya apa, mungkin Adnan bisa membantunya dan mengeluarkannya dari belenggu yang menyiksanya.
"Memang sebaiknya aku mengatakan yang sebenarnya, Adnan mungkin mau membantuku, andai benar dia mencintaiku." Andini menghela nafas panjangnya, berusaha berpikir positif pada hidup yang kian membuatnya lelah.
"Sekarang, aku justru merindukannya ...." Andini tersenyum miris, secepat itu kah hatinya jatuh hati pada sosok lelaki yang bernama Adnan, ia bahkan memikirkannya sepanjang malam, padahal ia sadar dirinya milik orang.
"Dia pasti tidak akan pulang lagi malam ini," gumam Andini sembari sesekali menghela nafas lalu kembali fokus dengan pekerjaannya menyapu. Sampai saat ia merasa ada yang merengkuh perutnya, di saat itu lah Andini terdiam dan mematung di tempatnya.
Dipikir lagi, rasanya mustahil bila Rio yang memeluknya saat ini, namun Adnan juga tidak mungkin, karena lelaki itu tengah pulang ke rumah orang tuanya. Andini dibuat gelisah, ia takut seseorang yang berada di belakangnya adalah orang mesum yang ingin berbuat jahat padanya.
Dengan mata memejam, Andini mengeratkan tangannya pada sapu yang dipegangnya, ia berniat menjadikan sapu itu senjata untuk melukai orang tersebut.
"Dasar mesum, pergi kamu dari sini!" Andini melayangkan beberapa pukulan ke seseorang tersebut dengan mata terpejam, ia benar-benar takut bahkan hanya untuk membuka mata, namun yang pasti ia harus bertahan sebisanya.
"Akh, sakit ...." Adnan meringis kesakitan sembari melindungi kepalanya dengan kedua lengannya dan yang terjadi tangannya menjadi korban saat ini, setelah mendapatkan pukulan dari sapu milik Andini.
KAMU SEDANG MEMBACA
selingkuh dengan teman suamiku (TAMAT)
Romance"A-apa kamu bilang? Kamu hamil? Tapi Rio bilang, kamu mandul kan? Itu lah kenapa kalian belum punya anak sampai sekarang, bahkan hal itu juga yang membuat Rio berpikir untuk menyelingkuhi kamu." Adnan. "Itu berarti ... ini anak kamu ...." Andini.