11. Papa

415 83 7
                                    

Farel duduk tegang di atas kasurnya. Fokus lelaki itu mengarah pada game online yang sedang ia mainkan di ponselnya. Beberapa umpatan kesal terucap dari bibirnya.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu memecah konsentrasi Farel. Tahu sang pengetuk pasti ibunya, ia berucap lembut, "Buka aja, Bu, nggak dikunci."

Ibu membuka pintu kamar Farel perlahan, kemudian berjalan mendekat dengan ponsel di genggaman.

"Papa telepon kamu tapi katanya nggak kamu angkat."

Farel menoleh sebentar. "Kan Nafa udah bilang dari dulu kalau nomornya udah Nafa blokir." Kembali lelaki itu memfokuskan diri pada ponselnya.

"Papa kamu mau bicara, Nafa..." Ibu berucap lembut, berusaha membujuk putra tunggalnya.

"Mau bicara apa emangnya." Sebuah pertanyaan yang tidak terdengar seperti pertanyaan. Nada bicara Farel terkesan datar, tapi tetap tidak terdengar kasar.

"Ya... mau tanya-tanya kabar kamu...."

"Kan bisa lewat Ibu."

"Papa, kan, maunya ngobrol langsung sama kamu." Ibu menyodorkan ponselnya pada Farel. "Nih, telepon balik gih."

Farel kembali menoleh, menatap sang ibu dengan raut wajah yang tampak sangat sendu, matanya berkaca-kaca. "Nafa belum mau bicara sama Papa," tolaknya mantap. Kemudian lelaki itu merebahkan diri, berbalik memunggungi Ibu, ditariknya selimut hingga menutupi kepalanya.

"Kenapa?"

Ada jeda beberapa detik hingga Farel menjawab, "Ibu pasti tau jawabannya, kan?" Sebuah jawaban dalam bentuk pertanyaan yang Farel yakini sangat dimengerti ibunya.

Ibu duduk di pinggiran kasur Farel. Tangan beliau terangkat untuk mengusap pelan pundak Farel yang tertutupi selimut. "Nafa... mau sampai kapan? Ini sudah berapa lama? Kamu nggak kangen sama Papa?"

"Nggak," jawabnya cepat. Suaranya terdengar halus dan bergetar.

Ibu menghela napas. Pasrah. Sama seperti sebelum-sebelumnya, malam ini ia tidak mungkin berhasil untuk membujuk Farel agar lelaki itu mau berbicara dengan mantan suaminya itu.

***

Lima tahun yang lalu. Awal tahun 2013. Kala Farel kelas satu sekolah menengah pertama semester dua. Hari itu Farel pulang sekolah tidak dijemput oleh Ibu seperti biasanya, melainkan oleh seorang tukang ojek langganan Ibu—yang biasa dipanggil Paman Udin—yang diminta Ibu untuk menjemput Farel. Sesampainya di rumah Farel, Paman Udin menyerahkan kunci rumah. Kata Paman Udin, Ibu menitipkan itu ketika meminta beliau untuk menjemput Farel.

Ibu bekerja di kantor catatan sipil. Beliau biasanya meluangkan sedikit waktu makan siangnya untuk menjemput Farel dari sekolah. Tapi tidak untuk hari itu. Farel pikir, mungkin ibunya hanya tidak bisa menjemputnya dari sekolah dan akan berjumpa di rumah, tapi ternyata salah. Siang itu kepulangan Farel hanya disambut oleh Bi Asih.

Bi Asih adalah asisten rumah tangga yang sudah bekerja dengan keluarga Farel sejak Farel masih bayi. Rumah beliau tidak jauh dari kediaman Farel. Menggunakan sepeda motor yang Ibu Farel belikan, Bi Asih biasanya datang di pagi hari dan pulang sebelum maghrib. Tidak menginap.

Papa menjabat sebagai kepala cabang di salah satu perusahaan BUMN. Sudah hampir dua bulan Farel tidak bertemu beliau dan dari dua bulan itu mereka hanya beberapa kali berbincang melalui sambungan telepon. Papa sedang ada kepentingan pekerjaan di luar kota, begitulah yang Ibu sampaikan padanya. Namun, apa pun itu alasan ketidakhadiran Papa di rumah, Farel sudah tidak perduli. Hubungan keduanya sudah merenggang sejak Farel duduk di bangku kelas lima sekolah dasar.

Clouds and SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang