13. Balikpapan

381 83 13
                                    

Note: Setiap dialog yang menggunakan bahasa daerah akan langsung aku kasih translate di bawahnya.

Banyak terdapat kata-kata kasar.

-

Pukul tujuh malam. Hari ini adalah hari ke lima Farel berada di Balikpapan. Lelaki itu duduk berhadapan dengan Papa di meja makan, lalu seorang wanita datang dari dapur dengan semangkuk besar sop iga.

"Mama buat sop iga. Kata Papa, kamu suka sop iga," ucap perempuan itu seraya tersenyum kepada Farel. Ia menaruh sop iga yang ia bawa ke tengah meja makan.

Farel hanya diam. Jangankan untuk menyahut, menatap wanita itu pun rasanya ia sangat enggan.

"Nafa, itu loh Mama bicara sama kamu," tegur Papa.

"Iya," jawab Farel singkat seraya memainkan ponselnya. Enggan menatap wanita itu, Papa, atau pun sop iga yang sudah tersaji di hadapannya.

Perasaan lelaki itu berperang. Satu sisi ia sangat ingin menyahut dengan rangkaian kata-kata kasar yang sudah tertumpuk lama di dalam hatinya, menuruti amarahnya, membalaskan rasa sakit hati ibunya. Tapi di sisi lain, ia juga tidak ingin membuat suasana gaduh, ia berusaha kuat untuk menghormati kedua orang tua di hadapannya ini. Merapalkan kalimat yang sering ibunya katakan kepadanya, "Usahakan untuk selalu mengatakan hal yang baik-baik saja."

Ria-nama wanita itu-duduk di samping Papa, lalu mengangkat salah satu piring yang bertumpuk di dekatnya. "Nafa nasinya sebanyak apa?"

"Farel bisa ambil nasi sendiri," jawab Farel cepat. Sengaja ia menyebut namanya dengan nama panggilan yang biasa orang lain gunakan untuk memanggilnya. Kemudian laki-laki itu mengulurkan tangannya untuk meminta piring yang wanita itu pegang.

"Yang sopan, Nafa!"

"Nafa nggak sopan, Pa? Di mananya?" Farel berusaha mati-matian menjaga nada bicaranya.

Papa tidak menyahut, beliau hanya menoleh ke arah istrinya, lalu melemparkan senyum lembut dan tatapan hangat. Entah maksud Papa adalah memastikan wanita itu tidak apa dengan sikap Farel atau menyampaikan permintaannya untuk memaklumi sikap Farel. Melihat itu, Farel dengan cepat mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, perasaannya tiba-tiba sesak, tiba-tiba memikirkan Ibu yang sendirian di rumah.

"Makasih, ya, Nafa, sudah mau ke Balikpapan," ucap Ria seraya menyendokan nasi di piring Papa.

Farel menghela napas. Ia yang tadinya menunduk memandangi nasi di piringnya yang masih berkukus, kini menatap wanita yang duduk di samping papanya itu. "Panggilnya 'Farel' aja, Tante," ucap lelaki itu. "Dan Farel ke sini cuma karena nikahannya Bang Dian."

Benar. Farel rela menginjakan kakinya di Balikpapan bukan karena ingin mengunjungi Papa dan istri papanya itu, melainkan karena pernikahan sepupunya-keponakan Papa-yang sudah sangat dekat dengannya sejak kecil. Tidak pernah ada niat Farel untuk pergi ke Balikpapan hanya untuk sekadar mengunjungi Papa dan istrinya itu, juga tidak pernah ada niat Farel untuk berlama-lama di Balikpapan. Acara akad nikah dilaksanakan pada hari kedua Farel berada di sana, kemudian disusul acara resepsi pada hari ke lima. Tidak ingin menunda kepulangannya, besok pagi Farel akan kembali terbang ke Banjarmasin.

"Nggak mau di sini lagi dulu, Nafa?" tanya Papa berusaha mencairkan suasana yang sempat tegang sesaat.

Tanpa perlu berpikir lagi, Farel menjawab cepat, "Enggak."

Suasana kembali menegang. Papa dan Farel saling beradu tatap.

"Kamu mau cari oleh-oleh? Nanti Mama temani," tawar Ria memecah keheningan.

Clouds and SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang