Pernah mendengar cerita dari mama tentang kenangan sebelum menikah dengan dokter Azzam. Selalu membuatku terkagum, terlepas dengan rasa sakit yang pernah dia berikan, tetap saja aku mengagumi dia yang dulu.
Menjadi suami idaman untuk mama, dan cintanya pada mama tidak bisa diuraikan dengan kata-kata. Cukup menakjubkan.
Kalau aku tanya mengenai cinta, apa dokter Azzam tetap menjawab jika mama yang dia cinta, atau sudah berubah menjadi Wulan yang dia cinta. Aku berharap masih dengan jawaban, mama.
Tadi, setelah dari kantin dan pertemuan exclusive dengan Wulan, aku tak sengaja berpapasan langsung dengan dokter Afnan dan juga dokter Azzam. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya itu masalah serius. Sempat dokter Azzam menyapa tapi aku abaikan, dan kalian tahu?
Betapa kesal dan malunya aku saat dokter Afnan menegurku karena dianggap tidak sopan. Oke, aku akui aku tidak sopan dengan mengabaikan sapaan dari dokter Azzam, yang mungkin dokter Afnan sendiri tahu jika beliau itu ayahku.
Bukan mungkin, pasti sudah tahu.
Yang jadi masalah, yaitu cara di menegurku. Gila saja, tadi itu cukup banyak orang yang lewat di sana. Dan dia? Astaghfirullah dengan tanpa perasaannya menegurku dengan kalimat yang kurang enak. Persetan dengan pandangannya mengenai diriku, seharusnya dia tidak seperti itu.
"Udah dong Sya, masa dari tadi cemberut mulu."
Aku mengabaikan Jihan, lagi-lagi teringat dengan kejadian beberapa jam lalu. Rasanya aku jadi muak dengan dokter Afnan, kalau dia bertindak seperti itu lagi, sudah dipastikan dia bakal masuk list salah satu orang yang akan aku hindari.
"Itu namanya profesional Sya. Lagian kamu juga gak sopan, ya di jawab lah sapaan om Azzam. Eh prof Azzam ya."
Jengkel, aku menatap Jihan dengan wajah datar. "Kamu gak tahu ya Han apa yang aku rasain tadi. Kalau kamu ada di posisi ku pasti kamu juga bakalan kayak gitu."
"Ya gimana ya Sya. Diapa-apain juga kamu tetap salah, udah gak sopan dan nyolot lagi kalau dikasih tahu, baperan juga."
Sial, kan kata kasar lagi.
"Yah, maaf ya Sya. Keceplosan." sesalnya.
Melihat jam dipergelangan tangan, waktu jaga ku udah mau habis. Laporan follow-up dari pagi sampai sore ini udah semua. Baik laporan bentuk file, kertas dan juga catatan. Lengkap sesuai permintaan Afnan.
Ya kan, jadi gak pake embel-embel dokter. Salahnya juga sih.
Kalau gini, ya gak jadi deh berharap punya anak kayak Najwa. Modelan bapaknya aja nyebelin, ya mana mau akunya.
Lagian ya, siapa sih yang mau atau masukin dokter Afnan di list suami idaman? Mana ada!
Ternyata dibalik sikapnya yang pendiam dia itu sosok orang yang sok tahu, menyebalkan, dan kayaknya bibit-bibit menyakiti hati wanita mulai kelihatan.
"Setelah jam jaga ku habis aku mau langsung pulang." ucapku. Sebenarnya hanya sebatas memberi tahu saja.
"Tungguin dong, jam 10 jam jaga ku juga udah selesai." ucap Jihan tanpa berpikir, sepertinya.
"Dari jam 6 nunggu sampai jam 10. Ogah! Mending pulang, tidur." jawabku.
"Ya kan--"
Aku bangkit dari duduk, meninggalkan Jihan di sana sendirian. Aku baru ingat tadi ada pasien yang wajahnya begitu familiar, dan juga follow-up terakhir, yaitu follow-up di kamar rawat dia.
Tadi sih enggak sebegitu ngeh sama wajahnya, cuma lihat sekilas terus lupa deh. Soalnya posisi dia dibawa ke ruang penanganan.
"Sya mau kemana kok aku ditinggal sih?"
Aku menggeleng kepala, teriakan Jihan tidak ingat tempat.
°•°•°•°
Aku tersenyum geli ketika pasien yang wajahnya familiar itu, adalah dosenku sendiri saat di kampus. Hampir 2 tahun enggak ketemu, karena dia dipindah tugaskan, tapi tetap aja masih kelihatan tampan.
"Ya Allah. Gak nyangka saya ketemu sama mahasiswa saya sendiri. Gimana kabar kamu? Lama ya enggak ketemu."
"Iya pak, lama. Hampir dua tahun sejak bapak pindah univ."
Niat awal follow-up, tapi berakhir mengobrol hampir 10 menit.
"Duduk Sya. Ngobrol dulu sama saya. Eh kamu sibuk pasti ya?"
Aku menggeleng, "Bapak itu pasien terakhir yang saya follow-up. Jadi setelahnya udah selesai."
"Kebetulan kalau gitu. Oh iya, kok bisa kamu berakhir di Jakarta. Di Makassar kan juga ada rumah sakit yang enggak kalah bagus kayak disini?"
"Rekomendasi langsung dari universitas pak. Ya nurut aja, lagian disini juga enak kok. Itung-itung juga melepas rindu sama Jakarta. Udah tahunan enggak pulang ke kota kelahiran."
Dia tertawa, manis.
"Kalau boleh tahu kenapa sih bapak sampai bisa kecelakaan kayak gini? Lumayan parah loh, pasti sakit semua ya pak badannya?"
"Ya namanya kecelakaan ya pasti sakit lah Sya. Tadi itu saya enggak tahu kalau di persimpangan ada mobil yang ngebut, putar stir ke kanan kok ya ada truk. Enggak fokus juga sih, kesehatan lagi menurun."
Yah, bapak sih. Kan jadi kasian, salah nggak ada keluarga yang dampingi lagi.
"Jadi ini selama bapak di rawat di sini, sendirian aja dong? Pemulihan kaki itu cukup makan waktu yang lama loh. Ini patah kakinya, bukan sakit biasa."
Dia tertawa, "Ya iyalah. Emang mau sama siapa. Kamu tahu sendiri kalau saya udah enggak ada orang tua dan keluarga."
Aku tersenyum masam, udah tertimpa musibah kecelakaan, badan banyak yang lecet. Tulang kaki patah lagi.
Kami saling diam, tak lama pintu terbuka dan masuk satu suster, lengkap dengan papan catatan ditangannya.
Aku berdiri dan memberi senyum kecil. Aku kenal suster itu.
"Pasien kecelakaan mobil atas nama bapak Abimanyu Pangestu. Dari tadi saya tunggu pihak keluarga untuk jadi penanggung jawab melakukan konfirmasi, tapi sepertinya tidak ada ya pak?"
"Iya sus. Untuk biaya administrasi nanti saya urus sendiri, jadi enggak perlu penanggung jawab." ucap pak Abi.
"Penanggung jawab ini buat laporan kepolisian pak. Karena kecelakaan yang bapak alami melibatkan beberapa korban juga, jadi polisi ikut terlibat."
Aku melirik pak Abi. Jadi bukan cuma dia?
"Loh sus, jadi bukan cuma pak Abi aja?"
"Iya bukan. Sopir truk mengalami cidera ringan. Dan untuk pengendara mobil, serta dua penumpang di dalamnya kondisinya masih belum sadarkan diri."
"Kalau begitu saya permisi dulu ya pak. Kalau tidak ada penanggung jawab. Besok polisi datang dan meminta keterangan."
Selepas kepergian sang suster, aku kembali mendekat dan duduk di tempat. "4 orang juga jadi korban?"
"Saya enggak tahu Sya. Mobil saya ketabrak, dan udah saya gak sadarkan diri."
"Gimana kalau saya aja yang jadi penanggung jawabnya pak?"
Terlihat dia terkejut, "Serius? Ya kalau kamu enggak keberatan, biar saya juga enggak perlu ada sesi tanya jawab sama polisi haha." ucapnya.
Aku terenyuh, karakter pak Abi tetap tidak berubah. Sifatnya enjoy, dan enggak sekaku seperti penggunaan kata Saya yang seringkali pak Abi gunakan.
Kira-kira sekarang berapa ya umur pak Abi? 36, 37, enggak. 38 lebih tepatnya. Mungkin hahaha
°•°•°•°
Bacaan apapun yang lebih utama adalah Al-Qur'an
Follow Instagram alivinad
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Cinta 2
RomanceTeringat perkataan mama, bila memaafkan adalah sifat orang mulia. Mungkinkah begitu? Ah--memiliki hubungan yang buruk dengan ayah adalah sesuatu yang menyakitkan, tapi mau bagaimana lagi. Andai, andai peristiwa buruk itu tidak pernah terjadi, mungki...