Hari itu tiba, dimana aku akan bertunangan dengan mas Al. Haduh, rasanya tuh gimana gitu. Mungkin belum sepenuhnya aku melupakan perasaanku untuk pak Abi. Tapi aku juga mencoba mengizinkan mas Al masuk ke dalam hatiku.
Hubungan kita jauh lebih baik dari sebelumnya. Komunikasi pun terjalin dengan lancar, tapi ada saatnya juga diantara kita saling berselisih paham.
Dan jelas, aku yang lebih sering memicuh pertengkaran diantara kami. Dan yang dilakukan mas Al kalau enggak diam yang dia menjelaskan dengan tutur katanya yang lemah lembut. Tapi kalau udah kebiasaan diluar batas, dia akan memberi penjelasan secara tegas.
Aku juga pernah bilang kalau aku ini masih kekanak-kanakan, apa dia masih mau? Dan dia menjawab mau. Artinya mas Al benar-benar mau menerima kurang dan lebihnya aku.
Hanya saja yang jadi masalah ya diriku sendiri. Kenapa susah sekali menerima dengan hati yang lapang. Kenapa masih saja sering berharap pada pak Abi, yang jelas-jelas sudah menikah dengan perempuan lain.
Astaghfirullah, rasanya itu bimbang banget.
Namun untungnya mas Al mau mengerti dan terus menunggu. Aku berharap agar dia tetap seperti itu, "Gantian, Syarin yang sematin cincin di jarinya Alfred."
Aku tersenyum, mengambil cincin dan menyematkannya di jari manisnya. "Kita udah tunangan ya mas."
"Iya, jangan ragu lagi."
Aku dibuat tertawa. Setelah sesi saling memasangkan cincin, kami semua berfoto bersama keluarga inti, dan beberapa teman dekat. Terutama dengan dokter Afnan dan istrinya.
Sekian kawan-kawan, ibu Sarah sudah terlihat baik-baik saja padaku. Bahkan dia sempat meminta maaf akan kelakuannya padaku. Serta mengenai Najwa, Alhamdulillah nya anak itu sudah kembali dekat dengan ibu kandungnya. Dan sekarang kami tengah berfoto bersama.
"Najwa lihat sini dong, masa matanya natap ke samping. Nanti fotonya jelek." ucapku. Dia menurut dan menyunggingkan senyum bahagia di depan kamera.
"Yah, udah tunangan aja. Semoga cepat naik pelaminan ya Sya. Aku tunggu loh undangannya." ucap Bu Sarah.
"Hahaha, iya Bu. Segera ya."
Kenapa aku memanggilnya dengan embel-embel ibu? Karena aku menghormatinya sebagai istri dari pembimbing ku dan juga karena umurnya yang lebih tua dariku.
Nyatanya sih, Bu Sarah orangnya cukup asik. Untung juga kesalahpahaman antara kami sudah berakhir.
"Selamat ya Sya. Maaf waktu itu nggak bisa datang ke acara akad Professor Azzam, Sarah lagi hamil muda."
Aku mengelak kaget, cepat sekali waktu ini berputar ya Allah. "Ah lagi hamil? Ih ibu kok datang sih, seharusnya istirahat di rumah. Hamil muda itu lagi manja-manja kan." gurauku. Dan mereka sambut dengan tawa.
Kami menyempatkan mengobrol, lagipula hanya dokter Afnan dan istrinya yang melakukan sesi foto terakhir bersama kami.
"Selamat ya dok, mau punya anak lagi." ucap mas Al, ikut memberikan selamat.
"Kalian juga, cepat naik pelaminan. Di tunggu undangannya, jangan lama-lama!"
"Siap dok, nanti saya sendiri ya yang antar undangan ke rumah." imbuh mas Al. Tumben dia banyak bicara sama dokter Afnan. Biasanya kan enggak.
"Ya udah aku sama suami mau samperin orang tua kamu dulu ya Sya."
Aku tersenyum, dan menunjuk keberadaan Mama dan Papa agar mereka tidak repot mencari-cari. Tapi belum benar-benar meninggalkan aku dan mas Al, dokter Afnan sudah berbicara dengan kalimat yang tidak mengenakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Cinta 2
RomanceTeringat perkataan mama, bila memaafkan adalah sifat orang mulia. Mungkinkah begitu? Ah--memiliki hubungan yang buruk dengan ayah adalah sesuatu yang menyakitkan, tapi mau bagaimana lagi. Andai, andai peristiwa buruk itu tidak pernah terjadi, mungki...