Jangan ditanya gimana gugup dan bingungnya aku. Selepas kepulangan dokter Alfred, papa dan mama tak ketinggalan kak Abas turut serta masuk ke dalam kamarku. Menjelaskan hal apa saja yang sudah mereka bicarakan pada dokter Alfred.
Tak terkecuali yang katanya bahwa keyakinan dokter Alfred dan aku berbeda. Artinya, kita beda agama. Allah. baru sekarang aku tahu bahwa keyakinannya berbeda. Pantas saja tak pernah melihatnya menapakkan kaki di mushola atau masjid yang ada di rumah sakit.
Tapi bukankah perbedaan keyakinan ini bisa aku gunakan untuk menolak lamarannya?
Ah mikir apa sih aku, kenapa gencar sekali ingin menolak dokter Alfred? Apa yang aku tunggu, pak Abi? Gila, dia aja mau nikah sama wanita pilihannya, dan aku masih stuck berharap bahwa nanti pernikahannya gagal.
"Papa sangat tahu perasaan kamu sekarang. Tapi apa yang ada dipikiran kamu saat ini, itu adalah kesalahan kalau kamu benar-benar merealisasikannya."
Deg
Aku terenyuh, tanpa memberikan penolakan secara langsung pun papa dengan mudahnya tahu apa yang sedang aku pikirkan.
"Baru pertama jatuh cinta sekaligus patah hati, bukan berarti kamu enggak bisa kasih kesempatan buat orang lain masuk kedalam hati kamu Sya. Kakak tahu gimana kamu dan sifat kamu, kakak juga tahu kamu orangnya itu gimana. Tapi kalau masih mengharapkan yang sekiranya gak ada kesempatan buat bersama, ya apa gunanya sih?"
"Kamu disini menunggu dan mengharapkan dia. Sedangkan dia disana mungkin udah bahagia sama pilihannya. Jadi sia-sia aja waktu yang kamu habiskan hanya untuk menunggu. Apalagi kamu juga tahu kan kalau dia yang kamu tunggu udah sebar undangan pernikahan?"
Aku tidak bersuara ataupun mengelak semua ucapan kak Abas. Nyatanya semua itu benar, hanya saja ini keinginan hati yang meminta untuk menunggu. Aku jadi berpikir, apakah setiap perempuan di dunia harus menggunakan hati untuk memutuskan sesuatu? Sedangkan pria selalu menggunakan logikanya.
Sekiranya gak ada kesempatan, mereka mundur. Tapi itu semua gak berlaku buat para perempuan, mereka akan tetap menggunakan hati.
'Tunggu dulu, mungkin gak lama dia nyari aku'
'Masih ada harapan, jangan nyerah dulu'
'Kayaknya kalau terus usaha dia juga bakalan lirik aku'
'Gimana kalau aku nyerah, gak lama dia malah perjuangin aku'
'Tunggu aja dulu deh'
Ya selalu seperti itu.
"Dokter Alfred bilang, kalau kamu mau mencoba menerima, dia ingin mengajak kamu bertemu kedua orang tuanya." mama memberitahu, dan menatapku dengan tatapan ah--ini terlalu berat. Tatapan mata mama benar-benar mengacaukan keputusanku.
Kami yang berada di dalam kamar saling terdiam, sampai aku memberanikan diri menyuarakan pendapatku. Ini tentangku bukan, jadi aku juga harus ikut andil dalam menilai sosok dokter Alfred.
"Gimana kalau Syarin masih punya harapan sama pak Abi? Papa, mama dan kak Abas enggak akan kecewa sama keputusan Syarin kan? Syarin cuma mencari peluang, siapa tahu dapat kan?"
Apa yang baru saja aku ucapkan tidak mendapatkan respon. Intinya mereka tidak ingin aku memperjuangkan apa yang seharusnya aku perjuangkan. Kenapa mereka mudah sekali menyuruhku menyerah, dan mencoba mempersilahkan orang lain masuk ke dalam hatiku?
Aku sedang berpikir positif, optimis. Tapi mereka secara langsung mematahkan semangatku dengan nasihatnya. Apa salah berharap pada seseorang dan mencoba menunggunya mungkin.
Tapi sepertinya keluargaku tidak setuju dengan keputusan ini.
"Kalian nyadar gak sih, secara langsung dan sengaja kalian semua udah ngasih jawaban kalau menunggu pak Abi itu sebuah kesalahan."
Entah kenapa aku malah berbicara seperti itu. Situasi jadi memburuk saat setelah kedatangan dokter Alfred.
Apa itu niat meminang dan pindah agama? Sebenarnya aku tidak mau ambil pusing, bisa saja aku menolak secara tegas lamarannya. Tapi aku mengaca pada diri sendiri, susahnya jadi tipikal orang yang tidak enak hatian
°•°•°•°
Di dalam rumah bernuansa klasik kuno, perpaduan desain Eropa dan bangunan lama Belanda. Rumah yang megah, memperlihatkan jika si empunya rumah adalah orang kaya.
Di dalam terdengar perdebatan yang entah sejak kapan dimulainya. Intinya, perdebatan itu melibatkan emosi dan hati.
"Bukannya Mami membenci apa yang berhubungan dengan Islam. Salah kamu, kalau kamu beranggapan Mami seperti itu, hanya saja Mami enggak mau kalau kamu sampai berniat pindah agama!"
"Keyakinan itu bukan untuk dipermainkan. Gak bisa seenaknya kamu pindah gitu aja, dimana selama 31 tahun hidup kamu menyembah Yesus, taat padanya dan tiba-tiba ingin berpindah agama karena tidak mau berbeda keyakinan dengan seseorang yang kamu suka."
Alfred menghela napas panjang, ya itu perdebatan antara dia dan orang tuanya.
"Aku berniat pindah bukan karena menyukai seseorang, tapi ini keinginan hati. Please mom, should be able to understand me."
Alice, wanita baya yang berstatus sebagai ibu dari Alfred menghembuskan napas berat. Dia berat hati untuk melepas putranya yang ingin berpindah keyakinan. Meskipun keyakinan mereka juga berbeda, tapi tetap berat rasanya.
Jika Mami Alfred menentang, berbeda dengan Papi nya. Dimana dia mendukung dengan penuh, asalkan alasannya hanya karena hati dan keinginan diri. Bukan karena manusia lain ataupun cinta.
"Sudah, kamu istirahat dulu. Biar Papi yang bicara sama Mami. Dan jangan selalu dipikiran, Mami seperti itu karena sayang padamu, intinya coba yakinkan dia."
"Terima kasih Pi."
"Sama-sama."
Belum sempat pergi dari sana, suara dari Alice kembali terdengar. Dan dia berucap seraya menyebutkan kalimat yang terdapat dalam Alkitab.
"Hendaklah kamu berakar dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diakarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur." (Kolose 2:7)
Hidup bertahun-tahun dengan Papi kamu, membuat Mami banyak belajar tentang keyakinannya. Dimana setiap hari bahkan setiap detiknya, dia semakin teguh dalam iman. Mami tidak memandang bahwa agama lain buruk, karena agama Mami dan Papi pun berbeda. Cuma, alasan kamu itulah yang membuat Mami meragu Alfred, Mami tidak yakin jika keinginan itu dari hati kamu."
Selepas berbicara, Alice pergi meninggalkan anak dan suaminya.
"Kayakinkan dia kalau kamu memang bersungguh-sungguh. Nanti setelah makan malam kembali ajak Mami kamu berbicara."
Kini Alfred berdiri sendirian ditengah-tengah ruang tamu. Menatap sekitar, dan melihat dua tempat yang memiliki filosofi berbeda. Papi dan Mami nya yang berbeda keyakinan. Jika dirinya sudah menjadi bagian dalam Islam, di rumah itu akan ada tiga orang dengan keyakinan yang berbeda-beda.
Come on, even if your application is rejected by Syarin. Never regret having changed religions. because that belief lies in the heart, not humans.
"Lagian udah lama juga kan saya tertarik dengan Islam. Bukan karena Syarin, bahkan jauh sebelum saya mengenal dia. Dan bisa-bisanya juga saya malah jatuh cinta dengannya. Kepribadiannya asik, jarang saya temui pada perempuan lain. Mana ada orang yang udah menyumpahi saya, sedetik kemudian berbalik memuji saya. Hanya Syarin dan cuma perempuan itu."
°•°•°•°
Bacaan apapun, yang lebih utama adalah Al-Qur'an
Follow Instagram alivinad
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Cinta 2
RomansTeringat perkataan mama, bila memaafkan adalah sifat orang mulia. Mungkinkah begitu? Ah--memiliki hubungan yang buruk dengan ayah adalah sesuatu yang menyakitkan, tapi mau bagaimana lagi. Andai, andai peristiwa buruk itu tidak pernah terjadi, mungki...