Hidupku sekarang terlalu rumit. Perlahan aku bisa menghilangkan perasaan yang aku miliki untuk pak Abi, dan mempercayakan hatiku untuk dimiliki oleh mas Al.
Namun disaat semuanya sudah membaik, ada saja masalah yang membuat kita hampir menyerah.
Hari ini, baik aku dan mas Al izin cuti satu hari karena akan mengadakan pertemuan keluarga. Ini permintaan dari mas Al sendiri, katanya keluarga harus tahu masalah ini dan keputusan yang akan kami ambil. Terutama kedua orang tua mas Al.
Pertemuan keluarga ini membuatku gugup, apalagi setelah mas Al menjelaskan semuanya. Aku dapat menangkap raut wajah terkejut dari Mami dan juga Papi, takut sekali membuat mereka kecewa.
Disaat aku gugup dan takut, aku bersyukur ada Mama dan Papa yang setia menemaniku dan memberikan dukungannya. Berkata semua akan baik-baik saja. Nyatanya kalimat itulah yang aku butuhkan.
"Mami sangat ingin kamu menjadi menantu Mami. Tapi Mami juga enggak bisa lihat kamu pergi ke negara lain 10 tahun lamanya. 10 tahun itu waktu yang lama, mungkin Alfred berkata baik-baik saja dan bisa menerima. Namun beda dengan Mami ataupun Papi, kami memikirkan perasaan Alfred juga." ucap Mami Alice.
"Impian kamu juga penting, kamu harus raih itu. Tapi gimana caranya agar mimpi dan pernikahan itu dapat terwujud, Mami dan Papi tidak bisa memberi saran. Mungkin bisa kalau Alfred ikut kamu ke Kanada, hidup bersama disana." lanjutnya.
Aku mendongak, menatap mas Al yang ternyata dia sudah memperhatikan ku sedari tadi.
"Maaf Mi, tanggung jawab di rumah sakit sangat besar. Apalagi para koas yang menjadi tanggung jawab ku, enggak bisa segampang itu pindah dan hidup di Kanada." ujar mas Al menjelaskan.
"Lagipula tinggal dan menetap di negara orang juga harus ada alasannya. Oke, Syarin disana karena pendidikan, lalu aku apa? Berprofesi dokter tidak gampang juga mendapat pekerjaan di negara lain." tambahnya.
Entah kenapa mataku berkaca-kaca, ingin menjerit dan terbebas dari pilihan sulit ini. Genggaman tangan ku pada tangan Mama dan Papa juga semakin erat, menyalurkan ketakutan dan keputusasaan ku.
"Saya tahu ini semua sulit. Saya menghargai keputusan kamu jika ingin membatalkan pernikahan, dan memutuskan menunggu Syarin selama itu. Tapi tolong pikirkan kebahagiaan kamu sendiri, jikalau suatu saat kamu menemukan kebahagiaan dengan wanita lain, maka Syarin harus ikhlas melepaskan." Papa berucap dengan tenang, seolah itu adalah hal yang benar.
Ah tidak, apa-apaan ini?
"Pa?" aku menatapnya meminta penjelasan.
Aku sudah berusaha melupakan perasaanku pada pak Abi, dan saat ini aku sudah kembali mempercayakan hati pada mas Al. Dan kenapa semua orang seolah berbicara kalau pembatalan pernikahan adalah sebuah keputusan yang tepat?
Apakah ingin bermain-main dengan hatiku?
"Pa." rengek ku.
Kami saling berpandangan, akan tetapi Papa tetap diam membungkam.
"Pa."
"Sya, kita bisa bicara berdua?" tanya mas Al, membuatku menatapnya.
Ada rasa kecewa saat Papa mengatakan itu, dan juga pada keputusan mas Al. Tetapi kembali lagi padaku, aku juga sangat jahat kalau tetap berpendirian untuk tetap melangsungkan pernikahan.
"Sya." panggilnya sekali lagi.
Aku berdiri, sebelumnya menyeka air mata dan menatap kedua orang tua mas Al secara bergantian.
Tanganku dipegang oleh Mama, tatapan matanya cukup untuk membuatku paham. Bahwa aku tidak boleh egois, aku juga harus memikirkan perasaan mas Al.
°•°•°•°
Author Pov
Syarin terdiam dengan terisak, hatinya benar-benar sudah dipermainkan. Rasanya sakit sekali.
"Sya, saya mana mungkin cari perempuan lain disaat saya mencintai kamu. Sudah saya bilang kan 10 tahun itu akan terasa singkat kalau kita meluangkan waktu untuk berkomunikasi. Percaya sama saya, perasaan saya ke kamu akan tetap sama."
Alfred berjongkok, mensejajarkan tubuhnya. Menatap Syarin yang terduduk lemas diatas kursi taman belakang.
"Saya enggak ada niat mempermainkan kamu. Tapi saya sendiripun enggak bisa membiarkan istri saya pergi selama itu. It's okay, saya bisa ikut kamu ke Kanada, tapi saya juga punya tanggung jawab besar di sini. Setidaknya kalau pernikahan kita di tunda sampai kamu selesai mengejar impian kamu, kamu tidak akan berstatus sebagai istri saya. Tapi wanita saya, di mana saya belum mempunyai hak atas kamu seutuhnya. Kalau kita tetap melanjutkan pernikahan, saya tidak bisa biarkan kamu pergi apalagi tanpa saya. Jadi, ini yang terbaik buat kita."
Syarin tetap terdiam, dia enggan menjawab namun tangisnya semakin terdengar memilukan.
"Jangan menangis, apalagi ini karena saya."
"Sya, jawab saya."
"Sya, jangan diamkan saya."
"Syarin--"
"Iya mas. Aku paham kok, lagian egois banget kalau aku tetap maksa jalani pernikahan. Seperti yang Papa bilang, kalau misal mas menemukan wanita lain, jangan ragu-ragu buat melepaskan ku. Karena akupun akan sama, ikhlas menerimanya." jawab Syarin tanpa mau menatap Alfred. Baginya sulit sekali, dan dia malu sudah menangis berulang kali di hadapan pria itu.
Beda sekali dengan Syarin yang dulu, mana pernah dia menangisi pria, kecuali pak Abi yang sempat sukses mencuri hatinya. Dan sekarang Alfred, yang mampu memporak-poranda hati dan pikirannya.
Pernikahan tinggal 3 Minggu, dan masa koas nya kurang beberapa bulan lagi. Setelah selesai, Syarin akan langsung berangkat ke Kanada dan mengenyam pendidikan disana 10 tahun lamanya. Karena mengambil gelar Professor tidaklah mudah, dan memerlukan waktu yang lama.
"Kamu salah tanggap terhadap maksud saya. Saya--"
"Iya aku paham mas. Tapi seandainya itu benar terjadi, enggak apa-apa kok."
"Kenapa kamu gak yakin gitu sih sama saya? Kamu selalu meragukan saya, meragukan cinta saya ke kamu. Kamu anggap selama ini saya bercanda Sya?!"
"Oke, maaf. Ayo lakukan sesuai keinginan kamu mas. Beda benua bukan berarti menghilangkan perasaan cinta kan? 10 tahun tak akan terasa lama kalau di jalin dengan komunikasi kan? Dan kita akan bertemu di setiap musim berganti, iya kan? Ayo lakukan itu, aku akan membuktikan kalau aku tidak pernah sama sekali menganggap perasaan kamu itu sebuah lelucon. Aku pun akan berusaha menumbuhkan rasa cinta itu, mau tunggu aku di tempat?" Syarin mengatakan itu dengan percaya diri, hatinya sudah mantap. Apapun kedepannya, kita sebagai manusia tidak ada yang tahu.
Sia-sia atau tidaknya menjalin hubungan jarak jauh, itu adalah resiko. Tergantung bagaimana menyikapinya, jadi harus mempersiapkan hati dan mental untuk memulainya.
Mendengar itu, Alfred menyunggingkan senyum. Ingin rasanya memeluk Syarin dengan erat, tapi sadar itu belum boleh dilakukan.
"Saya suka kamu yang seperti ini. Saya jadi melihat Syarin yang dulu."
"Kasih kalimat penyemangat dong mas. Apa kek, biar makin yakin gitu." pinta Syarin dengan sedikit merengek. Yang malah membuat Alfred tidak tahan untuk tidak tersenyum.
"Gapai mimpi kamu, dan saya akan perbaiki diri di sini. Percaya semua akan baik-baik saja."
°•°•°•°
Bacaan apapun, yang lebih utama adalah Al-Qur'an
Follow Instagram alivinad
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Cinta 2
RomanceTeringat perkataan mama, bila memaafkan adalah sifat orang mulia. Mungkinkah begitu? Ah--memiliki hubungan yang buruk dengan ayah adalah sesuatu yang menyakitkan, tapi mau bagaimana lagi. Andai, andai peristiwa buruk itu tidak pernah terjadi, mungki...