15. Flashback (2)

1.4K 145 6
                                    

Baru dua jam setelah kepergian mas Azzam ke pertemuan IDI. Tapi benar-benar, perasaan khawatir campur takut yang aku rasakan tak bisa dibendung.

Ditambah lagi tangisan Syarin yang semakin kencang, membuat kepalaku rasanya mau pecah. Untungnya saja hari ini Abas tidak membuat ulah, sehingga aku sedikit bisa tenang. Tapi Syarin? Anak itu tidak mau berhenti menangis.

Hanya mas Azzam, seakan pria itu tameng untuk kehidupan Syarin. Apa-apa yang menyangkut Syarin, selalu mas Azzam yang bisa menjadi obatnya.

Aku heran, kenapa anak perempuan ku sangat dekat sekali dengan mas Azzam ketimbang aku, ibunya.

"Mama, Abas telepon papa aja ya? Kasian kalau Syarin nangis terus ma."

Aku menoleh, sedikit ragu namun tak urung aku mengiyakan. "Iya, cepat ya. Bilang kalau Syarin gak berhenti nangis, nyariin papa."

Langsung saja Abas berlari mengambil ponselku yang aku tinggalkan di bawah. Dan kembali fokus ku tertuju pada Syarin. Ah anak itu tetap saja menjadikan mas Azzam segala-galanya dalam hidupnya.

Kenapa aku jadi takut, bagaimanapun jika mas Azzam tidak bisa terus bersama Syarin? Bagaimana nanti kondisinya? Buruk kah jika mas Azzam tiba-tiba pergi dari hidupnya?

Apakah mentalnya akan terganggu. Astaghfirullah bicaraku semakin melantur saja.

Lamunanku buyar saat Abas kembali dari bawah dengan berlarian. "Abas, jangan lari-lari, nanti kamu jatuh." 

"Ma, papa enggak angkat teleponnya. Cuma memanggil, gak berdering." jelasnya.

"Telepon om Hafiz ya, bilang di suruh mama ke rumah. Biar om Hafiz yang antar mama sama Syarin ke rumah sakit. Demamnya makin parah, mama takut Abas." ucapku dan langsung menangis dihadapan anakku sendiri.   

Jangan bilang aku lebay atau terlalu berlebihan. Entahlah akhir-akhir ini perasaanku sangat sensitif, dan juga overthinking ku kambuh lagi. Takut tak beralasan dan khawatir berlebihan. Seolah aku tengah diberi peringatan.

"Ma jangan nangis ya, Abas telepon om dulu."

Selagi menunggu Abas menghubungi Hafiz, aku mendekati Syarin dan memeluk anak itu. Aku lihat matanya perlahan sayu, bisa dipastikan Syarin saat ini tengah kelelahan karena sudah terlalu lama menangis. Meskipun begitu, dia tak berhenti memanggil nama mas Azzam.

°•°•°•°•°

Azzam termenung, pikirannya saat ini sedang kosong. Bisa di bilang dia tengah mengumpulkan ingatan yang baru beberapa jam terlewat.

Kepalanya pening, perutnya bergejolak ingin memuntahkan sesuatu.

"Astaghfirullah." lirih Azzam.

Pandangannya mengarah keseluruh penjuru ruangan yang dia tempati. Seakan tidak asing, ini kamar hotel!

Dengan cekatan Azzam menemukan ponselnya yang ada di saku celananya. Sayangnya ponsel itu dalam keadaan mati, dan cukup membuatnya bingung untuk mengabari sang istri.

Tunggu dulu, Azzam seakan sadar jika penampilannya saat ini sangatlah berantakan. Dan tunggu? Jas? Kenapa jas nya tergeletak begitu saja di lantai. Azzam benar-benar bingung.

Mungkinkah ini efek tegukan minuman yang sempat dia incipi tadi. Lebih tepatnya dia tidak sengaja meminum itu.

Seingatnya dia sempat kehausan, dan mengambil gelas berisi cairan coklat kehitaman. Azzam berpikir itu sirup yang sama saat pertama kali ia minum. Tapi sayangnya, ternyata itu alkohol sewaktu tercium olehnya.

Pantangan bagi Azzam meminum, minuman haram tersebut dan beralih mengambil gelas berisi air putih yang sempat dibawa pelayan, yang melewatinya.

Terkutuk lah, Azzam ingat sekarang!

Itu bukan air putih, astaghfirullah itu obat perangsang.

Gila, sungguh gila.

Pantas saja setelah terjadi reaksi aneh pada tubuhnya. Bukan disengaja, Azzam memang dengan sengaja memesan satu kamar hotel. Niatnya dia istirahat terlebih dahulu, sebelum mengendarai mobil dan pulang.

Dengan cepat Azzam menyambar jas dan merapikan penampilannya. Cekout dari hotel dan terkejut saat mengetahui ini sudah hampir memasuki waktu subuh.

Azzam merasa sangat bersalah pada istri dan anaknya. Terlebih putrinya yang tengah sakit.

°•°•°•°

Aku bangkit dari duduk, menatap kak Zizah dan Hafiz secara bergantian. "Aku mau sholat subuh dulu di mushola rumah sakit. Kalau mas Azzam telepon atau kirim pesan ke kalian, bilang aja Syarin sekarang di rumah sakit. Soalnya aku gak bawa ponsel kak."

"Iya, ya udah katanya mau sholat. Biar kakak yang jagain Syarin disini." ucap kak Zizah.

Aku mengangguk dan beralih menatap Abas yang tertidur diatas sofa panjang. Ah kasian putraku ini, tidurnya jadi terganggu.

Baru saja keluar dari kamar rawat Syarin, aku terpaku melihat sosok mas Azzam yang berdiri tepat dihadapan ku.

"Tadi ponsel saya mati Sya, saya cas sebentar di mobil terus gak lama ada pesan masuk dari teman saya, yang kebetulan lihat kamu ada di rumah sakit ini. Jadi saya ke sini, apalagi tadi saya di rumah dulu tapi rumah sepi."   

"Temen satu profesi?" tanyaku dan dia mengangguk. Ini hanya pertanyaan basa basi. Yang ingin aku tanyakan, kenapa bisa sampai sepagi ini baru pulang?

Tapi aku diam, belum ingin mempertanyakan itu. Menunggu saja, mas Azzam akan memberikan penjelasan atau tetap diam.

"Ada apa Sya?"

"Demam Syarin gak turun-turun, aku dibuat stress sendiri, terus aja ngerengek manggil nama kamu, nangis gak berhenti. Bingung aku mas, kamu juga nggak bisa dihubungin."

"Sya, saya minta maaf ya. Oh iya gimana kondisi Syarin sekarang?"

"Tidur, abis minum obat juga."

Aku dapat melihat mas Azzam menghela nafas panjang, seperti ada beban di kepalanya. "Kenapa mas?"

"Gak kenapa-kenapa kok, kamu tadi mau kemana?"

"Mau ke mushola, sholat subuh. Mau sekalian mas?" tanyaku. Tapi tak biasanya mas Azzam menolak dengan gelengan kepala seperti sekarang.

"Oh ya udah. Kalau gitu kamu masuk aja mas. Ada mas Hafiz sama kak Zizah juga."

Aku melenggang pergi, tidak mau pusing dengan pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalaku. Mungkin besok atau lusa aku minta penjelasan pada mas Azzam, tentang kenapa pulangnya harus subuh-subuh begini.

"Astaghfirullah, kamu gak kayak biasanya tau mas. Ada apa sih, tadi sebelum berangkat aja gak kenapa-kenapa kok." ucapku bermonolog.

Menepis itu semua, aku melangkahkan kaki melewati lorong rumah sakit. Mushola yang terletak tak jauh dari ruang inkubator bayi, cukup strategis juga tempatnya. Mengingat suasana sekitar sini hening dan damai.

"Bismillah, semuanya baik-baik aja. Semua ketakutan ku cuma aku buat-buat sendiri, jadi it's okay. Gak ada yang perlu ditakutin Sya."

Aku terus berusaha meyakinkan diri, jika tidak begitu aku akan terus berpikiran buruk, dan malah membuatku stres sendiri. Konyol sekali jika seperti itu.

Tapi, ah entahlah. Perasaanku sedang berkecamuk dan takut?

Oh ayolah Sya, apa yang kamu takutin?

Ini ketakutan yang gak beralasan, jadi enggak perlu diambil pusing kan?

Iya, enggak seharusnya seperti itu. Bukankah jika seperti ini, sama saja aku mencurigai dan tidak mempercayai mas Azzam?


°•°•°•°

Bacaan apapun, yang lebih penting adalah Al-Qur'an

Assalamualaikum Cinta 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang