"....Kamu seharusnya jangan kayak gitu Sya. Kalau Tante Wulan marah dan berniat enggak baik ke kamu, gimana? Stop bikin mama khawatir, kamu jangan cari masalah ya?"
Aku tersenyum lebar, masalahku dengan papa sudah selesai. Bahkan aku sangat bahagia bisa memanggil dirinya lagi dengan panggilan papa. Dan hatiku sudah baik-baik saja, bisa menerima ini semua.
Aku mendekat pada mama, menggenggam kedua tangannya. "Syarin bisa jaga diri kok ma. Mama jangan khawatir, kan juga ada papa."
Mama menghela napas panjang, mungkin takut lagi jika aku kembali memusatkan hidup pada papa. Nyatanya itu sedang terjadi, "Mama jangan diam aja dong. Masa cemberut gitu sama Syarin."
"Kamu tenang aja Sya. Wulan enggak akan berbuat buruk ke Syarin, saya bisa pastikan itu."
"Bisa pastikan karena apa dulu? Karena memang sifat Wulan yang enggak akan membalas, atau dokter yang--"
"Saya yang akan menghalangi Wulan berbuat sesuatu yang buruk ke Syarin. Percaya sama saya, enggak mungkin saya diam saja kalau putri saya mendapatkan masalah."
"Oke. Ini terakhir kalinya kamu buat mama khawatir. Kamu tahu, gimana takutnya mama? Mama sangat takut kamu kenapa-kenapa sayang."
Mama memelukku, dan aku balas memeluknya. Terlihat kak Abas yang sok terharu dengan pemandangan di depannya.
"Jangan sok terharu gitu deh. Enggak cocok banget sama tampangnya." ledekku setelah mengurai pelukan dengan mama.
Mama tersenyum kecil, setelahnya pamit kembali masuk ke kamar. Melihat itu papa terheran dan meminta penjelasan kepadaku.
Aku takut kalau papa beranggapan mama risih akan kehadirannya. Padahal itu semua tidak benar, memang inilah kebiasaan mama yang mungkin baru papa ketahui.
"Udah biasa kok pa. Jangan mikir macem-macem, mama di kamar juga istirahat." jelas kak Abas.
Aku menyuruh dua pria yang sangat berarti bagi hidupku itu untuk duduk di sofa. Aku meninggalkannya, dan meminta bibi membuatkan makan malam.
Ini kali pertama setelah 12 tahun lamanya, kami bisa makan dalam 1 meja makan. Bersama-sama, kembali dengan membawa kenangan yang sempat terkubur.
"Jadi itu papa non Syarin ya? Ya Allah, waktu itu beliau sempat datang ke mari cari-cari Bu Syasya, tapi Bu Syasya nya enggak ada."
Aku tertarik dengan arah pembicaraan ini. Kapan papa datang?
Oh tunggu, aku ingat. Saat papa berlari tergesa-gesa dan menanyakan kenapa mama bisa ada di rumah sakit. Dan itu adalah pertemuan pertama papa dan mama setelah sekian lamanya.
"Hehehe iya nih Bi. Itu papa Syarin. Kenapa, ganteng ya?" mencoba mencari jawaban dari Bi Dena.
Anak kecil pun kalau ditanya, dokter Azzam ganteng apa enggak. Pasti jawab ganteng.
Biasalah, papa.
Semakin tua bukannya semakin keriput, tapi semakin mempesona. Aku jadi penasaran gimana ya isi hati mama, makin cinta atau malah makin klepek-klepek.
Karena aku tahu, sampai saat ini mama mencintai papa. Dan papa juga mencintai mama.
Dua hati yang terpisah karena takdir. Maka akan bersatu lagi karena takdir. Takdir harus bertanggung jawab untuk perpisahan mereka.
Jodoh itu tidak kemana. Mau kamu jungkir balik kayak apapun juga. Kalau ditakdirkan ya pastinya bakalan bersatu lagi.
"Eh itu kopi hitamnya buat siapa Bi?" tanyaku. Melihat nampan berisi 2 cangkir kopi hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Cinta 2
RomanceTeringat perkataan mama, bila memaafkan adalah sifat orang mulia. Mungkinkah begitu? Ah--memiliki hubungan yang buruk dengan ayah adalah sesuatu yang menyakitkan, tapi mau bagaimana lagi. Andai, andai peristiwa buruk itu tidak pernah terjadi, mungki...