Part 7

1.4K 117 1
                                    

"Kalian kelihatan akrab tadi." Si pria tua tertawa berat, kemudian menghampiri Brendon yang sedari tadi masih diam. "Gaege, gimana keadaan kamu, Nak?"

"Ba-baik, Yah ...." Gaege menatap miris, mendengar Brendon menyebut ayahnya dengan sebutan Yah. Namun, syukurlah, pria itu hanya tersenyum hangat seraya mengusap puncak kepala putranya tersebut.

"Maaf, Pak, Bu, boleh saya minta waktu sebentar, antar keluarga dengan putra saya?" pinta pria itu.

"Ah, baik, Pak," kata Beatrice, benar-benar pandai berakting di antara yang lain yang terlihat agak panik. "Mas Brendon, ayo, Mas."

"Ah?" Gaege awalnya bingung, meski akhirnya ia ikut saja dituntun Beatrice keluar bersama dua anaknya, berjalan hati-hati sambil memegang infusnya sebelum akhirnya ke dalam ruangannya dirawat. Gaege duduk di kasur, meringis menatap tangannya sendiri. "Buset, banyak banget darahnya," komentarnya. "Ada ... udaranya juga."

"Sebentar aku panggilan dokter, ya," kata Beatrice lembut, mendudukkan putrinya ke sofa yang tersedia di sana dan membaringkan putranya di sampingnya. "Jaga adik kamu, ya, Sayang."

Thea mengangguk, dan Beatrice kemudian menatap Gaege. "Kamu tiduran aja, oke."

"Yah ...." Gaege pun membaringkan badannya, rasanya baru terasa seluruh tubuhnya remuk, padahal tadi emosinya menggebu-gebu. Ia menghela napas panjang, kemudian matanya menangkap kakak beradik yang ada di sofa tersebut.

Kepalanya rasanya sakit mencerna apa yang terjadi padanya ....

"Cih, dasar sialan!" Tak lama kemudian, dokter datang bersama Beatrice, dan menangani Gaege. Ia memeriksanya sedemikian rupa sementara Beatrice memperhatikan.

"Kondisi suami ibu benar-benar membaik, Tuhan benar-benar menunjukkan keajaibannya," kata dokter tersenyum, tersenyum ke mereka. "Mungkin besok atau lusa, Pak Xanders bisa dipulangkan."

"Terima kasih banyak, ya, Dokter!"

"Sudah tugas saya, Bu. Baiklah, saya permisi dulu." Dokter tersebut pun beranjak pergi, Gaege menguap setelahnya.

"Kamu tidur aja kalau lelah," kata Beatrice, menarik selimut hingga sedada pemuda di dalam tubuh pria dewasa itu. Gaege, sempat kaget akan perlakuannya. "Saya harap kamu menghadapi ini dengan sabar, Gaege."

"Mbak bener-bener kelewat sabar, ya," komentar Gaege kemudian. "Dewasa banget pokoknya, keknya lebih dewasa dari Mamah saya."

Wanita itu tersenyum hangat. "Suami saya jauh lebih dewasa, dia yang menjadi panutan saya."

"Oh, begitu ...." Gaege manggut-manggut, sedang Beatrice memperhatikan tubuh suaminya, tetapi diisi anak muda tersebut, terlihat kekanak-kanakan. "Mbak, sekali lagi saya minta maaf soal kegabutan tadi, ya. Saya panik soalnya."

"Saya mengerti, wajar, hal ini emang ... aneh." Beatrice menunduk sendu. "Tapi sudah, tak apa-apa, setelah kita sama-sama kerja sama buat mendapatkan ingatan suami saya kembali, semuanya akan kembali seperti semula."

"Hm ...." Gaege tak tahu harus berucap apa lagi.

"Ya sudah, kamu istirahat aja." Gaege mengangguk, pun menurut, terlebih tubuhnya memang sudah benar-benar lelah. Ia pun tertidur tak lama kemudian sementara Beatrice ke sofa, bersama dua anaknya yang sudah tertidur lebih dahulu, menjaga mereka bertiga seorang diri.

Waktu demi waktu berjalan, hingga tak lama kemudian Kanya datang, masuk ke ruang rawat Brendon yang diisi jiwa suaminya. Ia disambut pemandangan tiga orang yang tertidur nyenyak dan hanya Beatrice yang terjaga.

"Mm ... Mbak," panggilnya berbisik.

Beatrice berjalan menghampirinya, keluar ruangan bersama dan menutup pintu. "Bagaimana keadaan Mas Brendon?"

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

MY HUSBAND, YOUR HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang